Senin, 11 Februari 2013

lambang al haq




Berikut ini adalah Biografi Pendiri Amalan Dzikir Al-Haq, Abah H. Saidi Larau. Catatan biografi ini adalah hasil wawancara yang dilakukan pada pertengahan tahun 2001 oleh Achmad Maimun, salah seorang anggota Al-Haq dari Salatiga Jawa Tengah dengan Abah H. Saidi Larau, yang oleh murid-muridnya disebut sebagai Guru Besar Amalan Dzikir al-Haq. Selamat menmbaca dan mengikuti.


Silsilah
Nama lengakapnya adalah: H. Saidi Larao. Beliau lahir pada 10 April 1933 di Binsil. Sebuah desa di pedalaman Kabupaten Luwuk Sulawesi Tengah. Binsil adalah sebuah desa yang hening dan damai. Jauh dari hiruk pikuk dan keramaian serta kebisingan kota. Sebuah desa yang masih asri dan jauh dari pencemaran lingkungan maupun pencemaran moral. Pada saat digalakkannya program transmigrasi oleh pemerintah, desa tersebut menjadi salah satu daerah transmigrasi. Maka tidak heran jika di desa tersebut banyak ditemui orang-orang pendatang khsususnya dari Jawa, mereka adalah yang mengikuti program tansmigrasi pada saat itu.
Secara geneologis, H. Saidi Larao memiliki hubungan dengan Raden Maulana. Seorang utusan dari kerajaan Jogjakarta yang datang ke Sulawesi Tengah pada abad lampau. Berturut-turut silsilahnya adalah sebagai berikut:
Ayahanda dari H. Saidi Larau bernama Laponci sedangkan Ibundanya bernama Ibu Mantasia. Beliau H. Saidi Larau merupakan putra ke enam, dari delapan bersaudara. Nama-nama saudaranya berturut-turut dari yang tertua adalah sebagai berikut; Aisyah, Nura, Hawariyah, Dariyamah dan Said. Sedangkan kedua adiknya adalah Salmah dan Sulaiman.
Ayahanda H. Saidi Larau, yang bernama Laponci adalah putra dari Bapak Larao dan Ibu Kinosigar. Bapak Larao dan Ibu Kinosigar adalah kakek dan nenek dari Guru Besar al-Haq. Sedangkan Larao adalah putra Raden Maulana utusan dari kerajaan Jogjakarta yang diutus oleh Sultan pada saat itu untuk perjalanan muhibah ke Sulawesi. Di Sulawesi pulalah Raden Maulana dimakamkan tepatnya di Donggala.
Sedangkan dari garis keturunan ibu, H. Saidi Larau berasal dari Sulawesi Selatan. Ibunda H. Saidi Larau yang beranama Mantasia adalah putri dari Daeng Ngareng. Beliau adalah seorang Punggawa dari Kerajaan Gowa di Sulawesi Selatan. Pada saat Kerajaan Gowa mengalami berbagai kekalahan dalam peperangan, banyak punggawa dan panglima yang berhasil menyelamatkan diri. Salah satu di antara punggawa kerajaan itu adalah Daeng Ngareng, Kakek dari H. Saidi Larau dari garis keturunan Ibu.


Keluarga
Abah H. Saidi Larau, diberi karunia oleh Allah 3 orang anak dari pernikahan beliau dengan Ibu Fauziyah (wafat tahun 1992) pada tahun 1969. Satu putra dan dua orang putrid. Putra tertuanya bernama Rizal yang lahir pada tahun 1972. Dedangkan kedua putrinya adalah Siti Zuhria lahir tahun 1974 dan Siti Zaenab yang terlahir pada tahun 1977.
Riwayat Pendidikan
Pendidikan formal yang mula-mula diikuti oleh beliau Abah H. Saidi Larau adalah Folkschoole (Sekolah Desa) pada tahun 1940, yang lama pendidikannya adalah tiga tahun Beliau lulus dari FS di Malio pada tahun 1944.
Setelah lulus dari Folkschoole kemudian melanjutkan ke Sekolah Rakyat (SR) di Boalemo. Untuk menempuh pendidikan di Sekolah Rakyat ini dibutuhkan waktu tiga tahu pula. Sekolah Rakyat ini, di Boalemo baru dibuka pada tahun 1947. Jadi meskipun beliau telah lulus FS pada tahun 1944, maka tidak langsung melanjutkan studi ke SR tersebut. Pada tahun 1950 beliau lulus dari Sekolah Rakyat.
Setelah lulus dari SR di Boalemo, berkat keinginan belajarnya yang besar, beliau kemudian melanjutkan sekolah di Sekolah Menengah Islam (SMI) yang berada di Pagimana, dan lulus pada tahun 1954. Ketika beliau duduk di bangku SMI itu, ada sosok guru yang memberikan menginspirasi dan motivasi kepada beliau untuk terus belajar dan belajar. Guru tersebut adalah, Bapak Aslam Daroni. Bapak Aslam Daroni ini adalah seorang guru di SMI Pagimana yang didatangkan dari Jogjakarta. Motivasi yang diberikan oleh sang guru tersebut, telah mendorong H. Saidi Larau untuk merantau ke Jogja untuk belajar dan menimba ilmu di tempat asal sang guru yang telah memberikan inspirasi dan motivasi itu, yakni di Jogjakarta.
Keinginan dan hasrat yang besar untuk belajar yang bertemu dengan pemberian motivasi yang tinggi dari figure guru, telah mendorongnya untuk tidak puas belajar hanya di SMI. Lebih dari itu, beliau melanjutkan studi ke pula Jawa, tepatnya di Kota Jogjakarta.
Sekolah yang menjadi pilihannya waktu itu adalah Mualimin Jogjakarta. Memang sebuah prestasi yang luar biasa, pada saat di mana orang belum begitu tertarik untuk sekolah, namun beliau yang orang desa di ujung pulau Sulawesi, di pesisir Samudera beliau pada masa itu telah belajar ke Kota Pelajar. Betapa hal ini merupakan gambaran dari sebuah perjuangan dan kegigihan dan ketangguhan hidup. Pada usianya yang masih sangat belia (21 tahun) hanya dengan bermodalkan semangat beliau menempuh perjalanan yang sangat panjang dari desanya Binsil hingga ke Jogjakarta, yang tidak lain hanya untuk menuntut ilmu.
Setelah menempuh perjalanan panjang, akhirnya beliau sampai pula di Kota Gudeg. Pada tahun 1954 beliau masuk di Mualimin Muhammadiyah Jogjakarta. Pada tahun 1956 studi di Mualimin dapat diselesaikan. Dan pada tahun 1957 awal beliau pulang ke kampong halamannya, Binsil.
Kiprah di Masyarakat
Setelah pulang, kurang lebih dalam waktu enam bulan beliau tinggal di Desa Binsil untuk melepaskan rindu dengan kampung halamannya. Ghirah untuk berjuang membuatnya hijrah ke Gorontalo. Di sana beliau mendirikan sekolah, yakni Sekolah Menengah Petama (SMP) Muhammadiyah. Beliau sendiri pula yang memimpin SMP tersebut dan dibantu dengan beberapa orang temannya. Antara lain; Everdungga, Yasir Adipu, Elihidiya dan Markami. Amanah menjadi kepala sekolah beliau jalankan selama kurang lebih tiga tahun. Untuk kemudian amanah itu dipercayakan kepada temannya yang bernama Yasir Adipu.
Pada saat itu sebetulnya beliau memiliki keinginan untuk merantau ke negeri jiran Malaysia, akan tetapi berhubung terkendala oleh masalah dana, akhirnya niatan itu dibatalkan. Karena pada saat itu berbarengan dengan adik bungsunya yang bernama Sulaiman menempuh studi di Universitas Hasanuddin Ujung Pandang, yakni pada tahun 1960.
Keputusan yang diambil kemudian adalah pulang ke kampong halaman lagi, Binsil. Beliau pada saat itu, memilih bertani hingga pada tahun 1962. Pada saat beliau betani itu, sebetulnya pemikiran dan kehadirannya di Gorontalo masih sangat diharapkan. Yakni pada tahun-tahun itu pula ada permintaan dari Konsul Muhammadiyah agar beliau berkiprah di Gorontalo lagi, namun beliau tidak menyanggupinya.
Jalan hidup yang dipilih beliau saat itu ternyata adalah menjadi Pegawai Negeri Sipil. Yakni menjadi PNS di instansi Perpajakan. Akan tetapi tampaknya situasi dan system yang berjalan di perpajakan yang beliau rasakan saat itu tidak sesuai dengan prinsip hidup yang didasari dengan syariat Islam. Keteguhan dalam memegang prinsip ajaran Islam telah membuat beliau sangat tidak nyaman dan tidak teteram dengan hidup dari hasil kerja yang banyak bertentangan dengan hati nurani. Akhirnya PNS di perpajakan itu hanya beliau jalani kurang lebih satu tahun. Suara hatinya yang menolak berbagai system yang berjalan saat itu telah mendorongnya keluar dari PNS. Yakni pada tahun 1963.
Bertani di kampung halaman akhirnya menjadi pilihannya kembali. Dengan kesungguhan dan ketelatenan beliau berhasil dalam bidang ini. Hingga suatu saat hasil pertaniannya dapat digunakan sebagai modal awal untuk membeli dua perahu layer, yang berkapasitas muat kurang lebih 4 s.d 5 ton. Dua kapal itu beliau beli di daerah Panghalassean.
Dengan modal dua kapal itulah kemudian beliau mengembangkan usaha dagang. Dari Binsil ke Pagimana juga ke pulau-pulau di sekitar dan seberang desa. Perdagangan yang digelutinya adalah hasil-hasil bumi dan pakaian. Singkat riwayat, pada kuang lebih tahun 1973, usaha dagang beliau tinggalkan untuk kemudian beralih ke usaha perikanan dengan membuat empang yang luasanya kurang lebih 3 hektar. Namun Allah tampaknya berkehendak lain. Setelah usaha empang dijalankan untuk beberapa lama, banjir yang terjadi membuat usaha empang gagal.

Menerima Karomah dari Allah
Kung lebih pada tahun 1979 menjelang tahun 80-an, yang pada saat itu Abah H. Saidi Larau telah berusia kurang lebih 47 tahun mendapat semacam ilham dari Allah, untuk mengamalkan suatu dzikir tertentu. Beliau mengalami dan merasa dibimbing dan dipandu untuk mengamalkan dzikir-dzikir, yang akhirnya disebut sebagai pengamalan dzikir al-Haq itu. Siapa yang memandu tentu saja tidak perlu disebutkan di tulisan ini. Setelah dipandu dan dibimbing berulang kali, beliau amalkan sendiri. Tidak ditularkan dan tidak disebarkan kepada siapapun. Dan sempat dalam waktu yang agak lama amaln itu tidak dijalankannya lagi.
Sebulan setelah usia beliau mencapai 60 tahun atau kurang lebih setelah 13 tahun menapatkan ilham itu, beliau merasa ada yang mengingatkan tentang amalan itu dan disuruh untuk menularkan kepada orang lain. Akhirnya pada tahun menjelang wafat dari istri beliau, amalan dzikir al-Haq itu diajarkan kepada orang lain terutama kepada kerabat dan keluarga.
Orang pertama yang dipandu untuk mengamalkan dzikir ini adalah Mansur Ali, masih ada hubungan sebagai kemenakan. Sarifuddin Aminullah, Kasim Thahir (murid ini belakangan justru menyimpangkan amalan ini), Anshar. Semuanya adalah warga di desa Binsil.








 
ANDA BERTANYA AL-HAQ MENJAWAB
Tanya : Apakah arti dzikir kepada Allah itu ?

Al-Haq : Lafal/kata dzikir diambil dari bahasa Arab, yakni dari kata dasar/akar kata dzakara (ذكر ). Kata/lafal dzakara memiliki arti antara lain; mengingat dan menyebut. Jadi arti dzikir secara bahasa adalah mengingat dan menyebut. Sedangkan secara istilah (terminologi) dzikir berarti menghadirkan sesuatu dalam hati sanubari ( إستحضار الشئ فى القلب). Dari pengertian semacam itu maka arti dzikir secara istilah syar’i adalah mengingat Allah dalam hati sanubari, dengan menggunakan bacaan-bacaan dzikir yang telah diajarkan oleh Rasulullah.

Tanya : Apa tujuan dzikir kepada Allah itu ?.

Al-Haq : Sebelum menjelaskan masalah itu, terlebih dahulu perlu disampaikan tentang tujuan penciptaan manusia tujuan hidup manusaia adalah kembali kepada Allah.dan manusia mempunya cara hidup dengan cara beribadah kepada Allah, untuk mencari Ridha Allah.
Dengan demikian, dzikir yang merupakan salah satu bentuk ibadah atau pengabdian kepada Allah, memiliki tujuan akhir (ultimate goal) tidak lain dan tidak bukan adalah untuk mencari Ridha Allah. Bukan untuk mencari yang lain, selain mencari Ridha Allah.

Tanya
: Apa fungsi dzikir itu ?.

Al-Haq : Dzikir sebagai sebuah amalan ibadah, memiliki banyak fungsi bagi seorang muslim. Fungsi utama dari dzikir adalah untuk mendapatkan ketenangan jiwa dan mendekatkan diri (taqarrub) kepada Allah. Jadi dengan dzikir seorang muslim tidak hanya dapat merasa dekat dengan Allah tapi memang betul-betul dekat dengan Allah dan betul-betul mendapat ketenangan hati. Sebagaimana dijelaskan oleh Allah dalam surat al-Ra’du ayat: 128.

ألذين أمنوا وتطمئن قلوبهم بذكر الله ألا بذكرالله تطمئن القلوب

Artinya: Orang-orang beriman dan tenang hati mereka dengan berdzikir kepada Allah. Ingatlah bahwa dengan berdzikir kepada Allah akan membuat hati menjadi tenang.
Sedangkan fungsi dzikir kaitannya untuk mendekatkan diri kepada Allah, Rasulullah menjelaskan dalam sebuah haditsnya sebagai berikut:
قال رسول الله ص.م: يقول الله عز وجل أنا عند ظن عبدى بى وأنا معه حين يذكرنى فإن ذكرنى فى نفسه ذكرته فى نفسى ... ألخ.
Artinya: Rasulullah Saw. Telah bersabda; Allah ’Azza Wajalla berfirman Aku menurut persangkaan hamba-Ku, dan Aku akan bersamanya ketika dia (hamba Allah tersebut) berdzikir/mengingat kepada-Ku. Jika dia (hamba Allah) mengingat/berdzikir kepada-Ku dalam jiwanya, maka Aku juka akan mengingatnya dalam diri-Ku… dst.
 
Tanya : Apakah ada fungsi lain dari dzikir ?.

Al-Haq : Ada. Selain berfungsi dapat membuat dekat dengan Allah dan kemudian membuat hati menjadi tenang, dzikir juga memiliki fungsi-fungsi yang lain sebagai berikut:

1. Menjadi obat bagi penyakit bathin seseorang

Dalam kaitan ini Rasulullah menjelaskan dalam sebuah haditsnya sebagai berikut:
إن الشيطان جاثم فى قلب الناس إذا ذكر الله خنس وإذا غفل وسوس
Artinya: Syaithan itu senantiasa menetap dalam hati manusia, jika hati itu berdzikir/mengingat kepada Allah maka dia (syaitan) akan terjungkir dan jika hati tersebut lalai dari dzikir kepada Allah maka dia (syaitan) akan menggoda hati manusia tersebut.
Sumber penyakit ruhani manusia adalah syaitan. Syaitan itu dapat berujud makhluk ghaib dan juga bisa berujud manusia (hawa nafsunya). Obat yang mujarab bagi penyakit ruhani yang bersumber dari syaitan tersebut sebagaimana dijelaskan oleh Rasul di atas tidak lain adalah dzikir kepada Allah.

2. Menjadi penyehat sekaligus obat bagi penyakit jasmani seseorang

Dijelaskan oleh Rasulullah bahwa bagi umat Islam disediakan oleh Allah dua obat yang pertama madu dan keduaal-Qur’an. Dalam sebuah hadits dijelaskan sebagai berikut:
من حديث إبن مسعود: عليكم بالشفاءين العسل والقرأن
Artinya: Dari hadits yang diceritakan oleh Ibn Mas’ud: Atasmu (bagimu) ada dua obat yaitu madu dan al-Qur’an

من حديث عبد الله بن جابر, فى فاتحة الكتاب شفاء من كل داء

Artinya: Dari hadits yang diceritakan oleh Abdullah bin Jabir: Di dalam surat al-Fatihah ada obat bagi semua penyakit.

Dua hadits di atas menjelaskan bahwa al-Qur’an termasuk surat al-Fatihah merupakan obat bagi umat Islam. Sedangkan di dalam al-qur’an sendiri banyak dimuat dzikir-dzikir yang seharusnya diamalkan. Dan membaca al-Qur’an juga termasuk berdzikir krpada Allah. Maka sebagaimana yang dijelaskan hadits di atas, dzikir dapat menjadi obat dan penyehat bagi jasmani seseorang.

3. Menjadi pencuci bagi dosa-dosa yang telah dilakukan oleh seseorang

Selain fungsi-fungsi di atas, dzikir juga berfungsi menjadi pencuci atau pembersih dosa yang pernah dilakukan oleh seorang hamba Allah. Sebagaimana dijelaskan oleh Allah dalam surat al-Ahzab ayat 35:
والذكرين الله كثيرا والذكرات اعد الله لهم مغفرة وأجرا عظيما
Artinya: Orang laki-laki dan perempuan yang banyak berdzikir kepada Allah, Allah akan menyediakan kepada mereka ampunan dari dosa-dosa mereka dan menyediakan kepada mereka pahala yang agung.

Tanya : Apakah Rasul membatasi dalam keadaan bagaimana dzikir itu boleh dilakukan?

Al-Haq : Tidak, Rasulullah tidak pernah memberikan batasan dalam keadaan bagaimana dzikir harus dilakukan. Karena Rasulullah tidak membatasi dalam keadaan bagaimana seseorang harus berdzikir maka dzikir boleh dilakukan dalam keadaan apapun. Boleh dengan berdiri, duduk dan bahkan boleh sambil berbaring. Dzikir juga boleh dilakukan baik seseorang dalam suci atau sedang tidak bersuci (sedang berhadats, baik hadats besar maupun kecil). Secara gamblang Allah menjelaskan hal tersebut dalam surat ِAli Imran ayat 191 dan al-Nisa’ ayat 103 dan surat sebagai berikut:
الذين يذكرون الله قياما وقعودا وعلى جنوبهم ويتفكرون فى خلق السموات والأرض ربنا ما خلقت هذا باطلا سبحانك فقنا عذاب النار.
Artinya: (Ulul al-Bab) adalah mereka yang berdzikir kepada Allah dalam keadaan berdiri, duduk dan berbaring. Dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata) Ya Tuhan kami tidaklah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia, Maha Suci Engkau maka peliharalah kami dari siksa neraka.
فإذا قضيتم الصلاة فاذكروا الله قيما وقعودا وعلى جنوبكم فإذا اطمأننتم فأقيموا الصلاة إن الصلاة كانت على المؤمنين كتابا موقوتا.
Artinya: Maka apabila kmau sekalian telah menunaikan shalat, berdzikirlah kepada Allah dalam keadaan berdiri, duduk dan berbaring. Kamudian apabila kamu telah merasa aman maka dirikanlah shalat itu (sebagaimana biasa). Sesungguhnya shalat itu adalah kewajiban yang telah ditentukan waktunya atas orang-orang yang beriman.
Jadi berdasar dua ayat di atas dapat diambil i’tibar bahwa Allah dan Rasulnya tidak membatasi dalam keadaan bagaimana seorang hamba boleh berdzikir kepada Allah, kecuali seorang hamba tersebut sedang dalam keadaan membuang hajat (buang air besar maupun kecil) sebagaiman dijelaskan oleh Imam Khithabiy, ketika dia menjelaskan sebuah hadits Rasul sebagai berikut:
عن عائشة رضي الله عنها قالت: كان النبي صلى الله عليه وسلم إذا خرج من الخلإ قال: غفرانك.
Artinya: Dari Aisyah RA. berkata: Adalah Nabi Saw. ketika keluar dari kamar kecil (membuang hajat) berkata: “Ampunilah saya”.
Berdasar hadits tersebut Imam Khithabiy menjelaskan, bahwa ketika keluar dari kamar kecil (setelah membuang hajat), Rasul berkata ghufranak (غفرانك) yang berarti Ya Allah ampunilah saya. Kenapa Rasulullah mengucapkan hal itu? Karena menurutnya, pada waktu membuang hajat itu Rasulullah tidak berdzikir kepada Allah. Maka karena tidak berdzikir saat itu, Rasul merasa perlu untuk memohon ampunan kepada Allah. Dari sinilah kemudian pada saat membuang hajat -menurut Imam Khithabiy- seseorang tidak boleh menyebut asma Allah.

Tanya : Apakah yang dimaksud dengan do’a itu ?.

Al-Haq : Jika dilihat dari segi kebahasaan/etimologi lafal do’a sebagaimana dzikir diambil dari bahasa Arab. Kata dasar do’a adalah da’a ( دعا ) yang berarti mengundang, memanggil, menyeru, minta tolong dan memohon. Sedangkan secara istilah syar’i do’a berarti sebagai berikut:
الإبتهال إلى الله بالسؤال, والرغبة فيما عنده من الخير والتضرع إليه فى تحقيق المطلوب وإدراك المأمول.
Maksudnya: do’a adalah permintaan yang ditujukan kepada Allah lewat suatu permohonan. Do’a juga berarti senang dan mengharap kebaikan yang ada di sisi Allah. Kemudian do’a juga bermakna dengan rendah hati dan sepenuh hati mengaharap kepada Allah untuk terwujudnya sesuatu yang diinginkan dan tercapai apa yang dicita-citakan.

Tanya : Ada do’a-do’a yang ma’tsur atau telah diajarkan oleh Rasulullah. Tapi apakah boleh berdo’a memohon kepada Allah menurut keinginan kita tapi tidak pernah diucapkan Rasulullah. Atau pendek kata, apakah ada pembatasan dalam materi do’a yang kita mohon kepada Allah.

Al-Haq : Betul bahwa Rasulullah telah mengajarkan banyak do’a untuk umatnya. Tapi Rasulullah tidak membatasi materi do’a, atau hal apa yang diinginkan/diminta oleh seorang hamba muslim. Artinya seorang muslim boleh memohon apapun juga kepada Allah sejauh permohonan/do’a itu tidak menyangkut hal-hal yang jelek, bathil atau berhubungan dengan dosa/al-itsm (الإثم ). Dalam surat al-A’raf ayat: 180 dan surat al-Baqarah ayat: 186, Allah menjelaskan tidak adanya pembatasan materi do’a tersebut.
Surat al-A’raf ayat: 180 tersebut sebagai berikut:
ولله الأسماء الحسنى فادعوه بها
Artinya: Dan Allah memiliki Asma’ al-Husna, maka berdo’alah/memohonlah kepada-Nya (sesuai dengan apa yang kamu inginkan) melalui Asma’ al-Husna tersebut.
Surat al-Baqarah ayat: 186 sebagai berikut:
وإذا سألك عبادى عنى فإنى قريب أجيب دعوة الداع إذا دعان فليستجيبوا لى وليؤمنوا بى لعلهم يرشدون.
Artinya: Dan ketika hamba-Ku bertanya kepadamu (Muhammad) tentang Aku (maka jawablah) bahwa Aku adalah dekat. Aku akan mengabulkan do’a (permohonan) orang yang berdo’a, ketika dia sedang berdo’a kepada-Ku. Maka memohonlah kepada-Ku dan berimanlah kepada-Ku, mudah-mudahan mereka mendapat petunjuk.
Dua ayat di atas tidak membatasi apa-apa yang boleh dimohonkan kepada Allah. Allah memberi keleluasaan terhadap hamba-Nya untuk meminta apa saja kepada-Nya kecuali hal-hal yang dilarang atau berkaitan dengan dosa, sebagaimana dijelaskan oleh Rasulullah Saw. Dalam sebuah hadtisnya sebagai berikut:
عن أبى هريرة رضى الله عنه أن رسول الله صلعم. قال: ما من رجل يدعو الله إلا استجاب له, فإما أن يجعل له فى الدنيا, وإما أن يدخر له فى الآخرة, وإما أن يكفرعنه من ذنوبه بقدر ما دعا, ما لم يدع بإثم أو قطيعة رحم أو يستعجل.
Artinya: Dari Abu Hurairah RA. Rasulullah Saw. Telah bersabda: “Tidaklah seorang laki-laki yang berdo’a kepada Allah, kecuali Allah akan mengabulkannya, selama dia tidak berdoa/memohon dalam hal kejelekan/dosa atau dia tidak memutus silaturrahmi dan tidak tergesa-gesa untuk dikabulkan. Do’a tersebut adakalanya dikabulkan di dunia ini, atau do’a itu dikabulkan kelak pada hari akhir atau -do’a itu dikabulkan dalam bentuk- Allah menghapus dosa-dosanya sekadar/sebobot dengan permohonannya.
Selain itu, yang dilarang dalam berdo’a adalah tidak dengan rendah hati, tidak bersungguh-sungguh atau dengan bahasa lain dikabulkan teserah tidak dikabulkan juga terserah. Sebagaimana penjelasan Rasul sebagai berikut:
عن أبى هريرة رضى الله عنه عن النبى ص.م. قال : لا يقولن أحدكم أاللهم اغفر لى إن شئت, اللهم ارحمنى إن شئت, ليعزم المسألة فإنه لامكره له.
Artinya: dari Abu Hurairah Ra.dari Nabi Saw. Bersabda “Janganlah sekali-kali kamu seklian berkata (berdo’a): Ya Allah ampunilah saya jika Engkau -memang- menghendaki untuk mengampuniku, Ya Allah kasihanilah saya jika Engaku -memang- menghendaki untuk mengasihiku. Hendaklah seseorang memantapkan permintaan, sesungguhnya tidak ada paksaan bagi Allah.
Dari uraian di atas jelas bahwa seorang hamba diberi keluasan dalam memohon kepada Allah, tidak ada pembatasan dalam materi do’a, kecuali dalam hal-hal yang telah disinggung di atas.

Tanya : Kalau begitu bolehkah seseorang berniat dan memohon kepada Allah untuk menggetarkan dan mengurut seluruh tubuhnya dengan dzikir semisal dengan Asma’ al-Husna tersebut?

Al-Haq : Ya berdasar penjelasan ayat al-Qur’an dan hadits di atas, seorang hamba boleh-boleh saja dan sah-sah saja memohon kepada Allah untuk menggetarkan dan mengurut seluruh tubuhnya dengan melalui dzikir -semisal Asma’ al-Husna tersebut- karena Allah telah menjelaskan tentang kebolehannya sebagaimana tertuang dalam ayat yang telah disebut di atas, yakni:
ولله الأسماء الحسنى فادعوه بها
Artinya: Dan Allah memiliki Asma’ al-Husna, maka berdo’alah/memohonlah kepada-Nya (sesuai dengan apa yang kamu inginkan) melalui Asma’ al-Husna tersebut.

Tanya : Apa perbedaan antara dzikir dan do’a
 
Al-Haq : Antara dzikir dan do’a memang ada perbedaannya. Jika dilihat dari segi bahasa sebagaimana dijelaskan sebelumnya, dzikir adalah mengingat dan menyebut asma Allah. Sedangkan do’a adalah memohon kepada Allah. Selanjutnya dzikir belum tentu ada unsur permohonannya, tapi kalau do’a sudah dapat dipastikan ada unsur permohonan di dalamnya sekaligus ada unsur mengingat/dzikir kepada Allah.

Tanya : Bagaimana hubungan antara dzikir dengan do’a

Al-Haq : Hubungan antara dzikir dengan do’a jika diibaratkan bagaikan mata uang, yang kedua sisinya berbeda tapi tidak dapat dipisahkan. Jadi antara dzikir dengan do’a merupakan dua hal yang berbeda tapi satu dengan lainnya saling melengkapi dan menyempurnakan. Bagaimana keterkaitan antara dzikir dan do’a itu dapat dilihat dalam penjelasan surat al-Fatihah. Ummu al-Kitab tersebut terdiri dari dzikir dan do’a sekaligus. Ayat ke-1 sampai dengan ayat ke-5 adalah dzikir, yang kemudian disambung dengan do’a pada ayat ke-6 hingga ayat ke-7.

Tanya : Bagaimana dzikir dalam amalan al-Haq

Al-Haq : Dzikir di dalam amalan al-Haq adalah sebagaimana penjelasan tentang dzikir sebelumnya. Yakni menggunakan lafadz-lafadz dzikir yang ma’tsur dari Rasulullah. Pengamalan ini tidak menggunakan lafadz-lafadz dzikir yang tidak pernah diajarkan oleh Rasulullah Saw.

Tanya : Bagaimana tatacara dzikir dalam pengalaman al-Haq

Jawab : Tata cara dzikir di dalam pengamalan al-Haq, sebagaimana diajarkan oleh Rasul, yakni seseorang hendaknya dalam keadaan:
1. Suci, yakni suci badan, pakain dan tempat dari najis. Lain dari itu juga harus suci dari hadats kecil maupun besar. Hal itu berdasar firman Allah, yang menjelaskan bahwa Allah mencintai orang-orang yang suci.
إن الله يحب المتطهرين
Artinya: Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang mensucikan diri
2. Duduk bersila menghadap qiblat, sebagaimana Rasulullah berdo’a memohon kepada Allah juga menghadap qiblat. Penjelasan tersebut sebagai berikut;
عن عبد الله بن زيد رضى الله عنه قال: خرج رسول الله صلعم. إلى هذا المصلى يستسقى فدعا واستسقى واستقبل القبلة
Artinya: Dari Abdullah bin Zaid RA. Berkata: “Rasulullah masuk ke mushalla ini dan kemudian memohon hujan dan berdo’a dan meminta hujan dan menghadap qiblat.
3. Khusu’, bertadharru’ atau bersungguh-sungguh dan berserah diri hanya mengharap ridha Allah. Sebagaimana dijelaskan oleh Allah dalam surat al-A’raf ayat 55-56 sebagai berikut:
ادعوا ربكم تضرعا وخفية إنه لا يحب المعتدين ولا تفسدوا فى الأرض بعد إصلاحها وادعوه خوفا وطمعا إن رحمة الله قريب من المحسنين
Artinya: berdo’alah kepada Tuhanmu dengan cara berserah diri dan dengan suara halus, sesungguhnya Allah tidak senang terhadap orang-orang yag melebihi batas, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di atas bumi setelah Allah memperbaikinya, dan berdo’alah kepada-Nya dengan rasa takut dan mengharap (ridha-Nya) sesungguhnya Rahmat Allah itu dekat bagi orang-orang yang berbuat kebaikan.

Tanya : Bagaimana pengamalan selanjutnya?

Al-Haq : Setelah tatacara demikian itu tahap selanjutnya adalah membaca beberapa urutan dzikir yakni Istighfar tiga kali, Ta’awudz, surat al-Fatihah hingga Amien, kemudian disambung dengan niat karena Allah. 

Tanya : Bagaimana niat di dalam pengamalan itu?

Al-Haq : Sebelumnya perlu disampaikan bahwa di dalam pengamalan al-Haq ada dua tahap pokok yang harus dilalui, yakni pertama tahap Penggetaran dan kedua tahap Pengurutan. Tahap Penggetaran ini merupakan tahap yang harus dilakukan sebelum menginjak tahap-tahap selanjutnya. Jadi setelah melakukan tatacara sebagaimana di atas, seseorang berniat untuk menggetarkan seluruh tubuh dengan menggunakan dzikir Syahadatain, dengan landasan segala sesuatu diniatkan hanya karena Allah. Setelah proses penggetaran selesai kemudian dilanjutkan dengan proses Pengurutan seluruh tubuh yang juga lakukan dengan niat mengurut seluruh tubuh dengan dzikir Syahadatain., karena Allah. Dimaksud dengan pengurutan adalah menata lahir dan bathin dengan menggunakan dzikir semata-mata karena Allah.

Tanya : Bagaimana kedudukan niat bergetar dan mengurut dalam tata cara tersebut?

Al-Haq : Niat menggetarkan dan mengurut tersebut dalam tata cara pengamalan al-Haq itu adalah sebagai do’a yang dimohonkan kepada Allah. Jadi sekali lagi niat menggetarkan dan mengurut tersebut adalah do’a atau permohonan kepada Allah. Dan sebagaimana penjelasan sebelumnya materi do’a tidak pernah dibatasi oleh Rasulullah, jadi berniat atau memohon bergetar atau mengurut seluruh tubuh tersebut boleh-boleh saja. Selanjutnya kalau betul-betul bergetar, hal itu pertanda do’a tersebut telah dikabulkan oleh Allah. Jadi bergetarnya tubuh itu adalah hasil dari permohonan yang ajukan kepada Allah.

Tanya : Apakah ada dasar syari’at yang dapat dijadikan pedoman untuk amalan penggetaran tersebut.

Al-Haq : Ya ada. Di dalam al-Qur’an surat al-Anfal ayat; 2 Allah menjelaskan sebagai berikut:
إنما المؤمنون الذين إذا ذكرالله وجلت قلوبهم وإذا تليت عليهم آيته زادتهم إيمانا وعلى ربهم يتوكلون.
Artinya: Orang-orang yang beriman itu hanyalah mereka yang jika disebut (asma) Allah bergetar hatinya dan ketika dibacakan ayat-ayat Allah maka bertambahlah iman mereka, dan kepada Tuhanleh mereka berserahdiri.
Jadi menurut ayat di atas yang disebut orang beriman itu hanyalah mereka yang bergetar hatinya ketika asma Allah disebut. Dalam kaitan inilah penggetaran dilakukan. Dengan niat penggetaran itu diharapkan kita akan mendapat getaran sebagai salah satu ciri dasar dari orang yang beriman. Jadi dengan penggetaran ini diharapkan seseorang akan merasakan iman yang sesungguhnya di dalam hati.

Tanya : Menurut ayat di atas yang bergetar adalah hatinya, tapi di dalam pengamalan al-Haq yang bergetar adalah tubuhnya, bagaimana ini?

Al-Haq : Betul bahwa menurut ayat tersebut yang bergetar adalah hatinya, sedangkan di dalam pengamalan al-Haq yang bergetar adalah tubuhnya. Perlu diketahui bahwa manusia memiliki dua aspek yaitu aspek lahir dan aspek batin. Kedua aspek itu saling berhubungan dan pengaruh mempengaruhi satu dengan yang lain. Kondisi jiwa/hati seseorang akan banyak berpengaruh pada kondisi lahiriahnya. Demikian juga dengan bergetarnya hati akan berpengaruh pada bergetarnya jasmani/tubuh. Sebagai perumpamaan, jika seseorang merasa takut untuk berpidato di atas mimbar, rasa takutnya itu kemudian membuat seluruh tubuhnya berkeringat dan gemetaran. Karena itu, niat penggetaran dalam amalan al-Haq dengan menggunakan kata-kata seluruh tubuhku, maksudnya sejak ujung rambut hingga ujung kaki, dan sejak yang lahiriah hingga yang batiniah.

Tanya : Apakah amalan penggetaran dan pengurutan sebagaimana disebutkan seblumnya tidak termasuk bid’ah?

Al-Haq : Sebelum menjawab persoalan itu, perlu dijelaskan dterlebih dahulu tentang persoalan bid’ah. Bid’ah (بدعة)berasal dari bahasa Arab, dengan akar kata bada’a (بدع) yang berarti membuat sesuatu yang baru, yang sebelumnya belum pernah ada. Secara istilah syar’i bid’ah berarti mengada-ada dalam suatu persoalan syari’at yang tidak diajarkan oleh Rasulullah. Jadi bid’ah itu hanya dalam urusan ubudiyah. Selain masalah ubudiyah, meskipun belum pernah ada dan belum diajarkan oleh Rasulullah tidak dikatakan bid’ah. Sebagaimana dijelaskan oleh Rasulullah sebagai berikut:
إياكم ومحادثات الأمور فإن كل محدثة بدعة وكل بدعة ضلالة وكل ضلالة فى النار
Artinya: Jauhilah kamu sekalian hal-hal yang baru (dalm urusan syari’at) karena sesungguhnya setiap yang baru adalah bid’ah, dan setiap bid’ah itu sesat dan setiap yang sesat masuk neraka.
Jadi sekali lagi kalau hal-hal yang baru itu di luar masalah syariat, tidak dapat dikatakan sebagi bid’ah. Sebagai misal, orang sekarang bila naik haji tidak menggunakan unta seperti Rasulullah dahulu, tapi menggunakan pesawat terbang. Hal baru yang demikian itu tidak dapat dikatakan bid’ah. Jadi sekali lagi yang dikatakan bid’ah itu jika mengada-ada dalam hal ibadah mahdhah. Yang dimaksud ibadah mahdhah adalah ibadah yang telah ditentukan aturan-aturannya oleh Rasul secara spesifik/khusus, sebagai misal shalat dhuhur empat rakaat. Shalat maghrib tiga rakaat dan sebagainya. Ketentuan jumlah rakaat yang demikian itu tidak boleh ditambah maupun dikurangi. Demikian juga ketentuan dalam hal puasa Ramadhan, sejak dari terbit fajar hingga terbenamnya matahari, tidak boleh ditambah hingga isya’ atau dikurangi sebelum maghrib. Jadi sekali lagi dalam hal ibadah mahdhah yang telah ada aturan-aturan khususnya tidak boleh ditambah dan tidak boleh dikurangi. Dalam hal dzikir, Rasulullah tidak pernah membuat aturan yang secara khusus dan detail, seorang hamba boleh berdzikir dalam keadaan apapun dan untuk tujuan apapun yang diridhai oleh Allah. Jadi dzikir dengan bergetar, tidak dilarang oleh Rasulullah. Dzikir dengan mengurut seluruh tubuh juga tidak dilarang oleh Rasulullah, dan bukan merupakan bid’ah, karena memang Rasulullah tidak pernah membuat aturan secara khusus dalam berdzikir, tapi justru diberi keleluasaan. Jika ada yang mengatakan dzikir dalam keadaan bergetar atau mengurut seluruh tubuh merupakan bid’ah, seharusnya dia beristighfar dan mohon ampunan pada Allah, karena dia telah berani melarang sesuatu yang Rasulullah tidak pernah melarang. Dia berani mengharamkan sesuatu yang dihalalkan oleh Rasulullah. Dan anggapan yang demikian itulah yang justru dinamakan bid’ah. Karena mengharamkan sesuatu yang Rasulullah tidak pernah menharamkannya. 

Tanya : Bagaimana kebolehan berdzikir dengan cara bergetar dan mengurut dilihat dari aspek perumusan hukumnya.

Al-Haq : Dalam perumusan hukum tentang bolehnya dzikir dengan bergetar, dapat digunakan metode perumusan hukum Qiyas. Qiyas adalah proses merumuskan hukum suatu hal yang belum dijelaskan secara khusus oleh Rasulullah, tapi secara umum penjelasan hukum itu dapat dijumpai dalam al-Qur’an maupun hadits. Sebagai hukum ashalnya adalah kebolehan berdzikir sambil duduk, berdiri atau berbaring sebagaimana dijelaskan dalam surat Ali Imran ayat 191 dan al-Nisa dan ayat 103 sebagai berikut:
الذين يذكرون الله قياما وقعودا وعلى جنوبهم ويتفكرون فى خلق السموات والأرض ربنا ما خلقت هذا باطلا سبحانك فقنا عذاب النار.
Artinya: (Ulul al-Bab) adalah mereka yang berdzikir kepada Allah dalam keadaan berdiri, duduk dan berbaring. Dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata) Ya Tuhan kami tidaklah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia, Maha Suci Engkau maka peliharalah kami dari siksa neraka.
فإذا قضيتم الصلاة فاذكروا الله قيما وقعودا وعلى جنوبكم فإذا اطمأننتم فأقيموا الصلاة إن الصلاة كانت على المؤمنين كتابا موقوتا.
Artinya: Maka apabila kmau sekalian telah menunaikan shalat, berdzikirlah kepada Allah dalam keadaan berdiri, duduk dan berbaring. Kamudian apabila kamu telah merasa aman maka dirikanlah shalat itu (sebagaimana biasa). Sesungguhnya shalat itu adalah kewajiban yang telah ditentukan waktunya atas orang-orang yang beriman.

Dalam kedua ayat di atas dijelaskan oleh Allah bahwa dzikir itu dapat dilakukan sambil berdiri, duduk atau sambil tiduran. Bergetar dalam hal ini dapat disepadankan atau diqiyaskan dengan berdiri, duduk atau berbaring. Bergetar berkedudukan sebagai kata kerja yang menunjukkan suatu aktivitas atau perbuatan. Berdiri, duduk dan berbaring juga kata kerja yang juga menunjukkan suatu aktivitas. Kedua keadaan itu memiliki kesetaraan yang memungkinkan untuk diberlakukan metode qiyas. Yakni mengqiyaskan hukum bergetar dengan hukum berdiri, duduk atau berbaring sebagaimana dijelaskan dalam al-Qur’an..
Selanjutnya, qiyas yang lain juga dapat diterapkan untuk menunjukkan kebolehan dzikir dengan bergetar. Qiyas tersebut adalah qiyas aulawiy. Yakni dzikir boleh dilakukan sambil apapun juga, boleh di pasar sambil berjualan, boleh sambil makan, bahkan boleh sambil bersenggama sekalipun. Dzikir juga boleh dilakukan tidak dalam keadaan suci, juga boleh tanpa disertai dengan niat. Jika dzikir dengan keadaan seperti tersebut di atas saja boleh, apalagi jika dzikir itu dilakukan dalam keadaan suci, diniatkan untuk bergetarnya hati dalam rangka mencapai ridho Allah, sebagaimana dilakukan dalam amalan Al-Haq, hal itu pasti lebih diperbolehkan. Inilah yang disebut dengan qiyas aulawiy

Tanya : Apakah ada bentuk-bentuk ibadah lain yang Rasulullah tidak pernah memberikan ketentuan khusus?
 
Al-Haq : Ya ada. Sebagai contohnya dapat dikemukakan antara lain sebagai berikut:
1. Khutbah Jum’at,
Menyangkut masalah khutbah Jum’at, Rasulullah berkhutbah dengan menggunakan bahasa Arab dan tidak pernah menggunakan bahasa lain, sejak dari rukun khutbah hingga penjelasannya, sedangkan masyarakat muslim di dunia ini, berkhutbah tidak menggunakan bahasa Arab namun menggunakan bahasanya masing-masing. Hal itu tidak dianggap bid’ah sekalipun mengada-ada dalam persoalan ibadah yang tidak pernah dilakukan oleh Rasulullah. Karena memang Rasulullah tidak pernah membatasi penggunaan bahasa, tapi justru Rasul memberikan keleluasaan terhadap persoalan tersebut.
2. Shalat Tarawih,
Shalat Tarawih seperti juga dalam persoalan Khutbah Jum’at. Pada zaman Rasul nama Shalat Tarawih itu belum ada. Dahulu di kalangan shahabat menyebut Shalat Tarawih sebagai Qiyam al-Lail atau shalat malam. Tapi sekarang umat Islam menyebutnya sebagai Shalat Tarawih. Ini juga mengada-ada dalam hal nama yang tidak pernah disebutkan oleh Rasul, tapi tidak dikategorikan sebagai bid’ah. Karena Rasul tidak pernah menetukan nama Shalat di malam bulan Ramadhan tersebut. Selain itu, jika kita melihat dalam penjelasan Hadits, Rasulullah melaksanakan Qiyam al-Lail tersebut bersama-sama shahabat di dalam masjid hanya beberapa kali di dalam bulan Ramadhan, tapi kenapa umat Islam, sekarang melaksanakan Shalat Tarawih tersebut setiap malam bulan Ramadhan, dan juga tidak disebut bid’ah?. Ya karena memang Rasulullah memberikan keleluasaan pelaksanaan Shalat tersebut. Seperti halnya dzikir yang telah dijelaskan sebelumnya.
3. Zakat Fitrah
Rasulullah pada masa itu menunaikan zakat fitrah dengan kurma, tapi mengapa umat Islam di penjuru dunia menunaikan zakat fitrah tidak dengan kurma, tapi ada yang menggunakan gandum, beras dan sebagainya, tapi juga tidak pernah dianggap bid’ah?. Padahal hal itu juga mengada-ada dan belum pernah dilakukan oleh Rasulullah?. Karena memang dalam hal ini Rasulullah tidak menentukan secara khusus tentang pelaksanaannya, seperti halnya dzikir yang telah dijelaskan sebelumnya.
Demikian penjelasan tentang bid’ah kaitannya dengan amalan ibadah. Dengan penjelasan yang demikian itu, kiranya menjadi masukan kepada siapa saja agar tidak dengan mudah mengklaim, atau memberikan cap kepada amalan-amalan tertentu dengan nama bid’ah.

Tanya : Dalam penjelasan ulama tentang bid’ah ada yang membagi menjadi dua yakni bid’ah hasanah atau mahmudah dan bid’ah dhalalah atau madzmumah. Bagaimana itu?

Al-Haq : Betul bahwa para ulama mengatakan bid’ah itu ada yang mahmudah atau hasanah dan ada yang dhalalah atau madzmumah. Yang berpendapat demikian antara lain adalah Imam Syafi’i. Untuk masalah ini siapapun boleh berpendapat. Ulama yang mengatakan bid’ah itu ada yang baik dan ada yang sesat, sebetulnya dia mendasarkan pendapatnya pada arti bid’ah secara kebahasaan, yakni seperti yang telah dijelaskan sebelumnya. Bid’ah itu secara kebahasaan adalah segala sesuatu yang baru yang belum ada contohnya semasa Rasul. Jadi apapun juga yang namanya baru yang belum ada contohnya pada waktu Rasul, semuanya bid’ah. Dan sesuai dengan penjelasan Rasul sendiri, segala sesuatu yang bid’ah itu pasti sesat, dan yang sesat pasti masuk neraka. Tapi kenyataannya apakah sesuatu yang baru pada saat ini semuanya sesat, jawabnya tentu saja tidak. Dari situlah maka hadits Rasul yang menjelaskan tentang bid’ah itu hanya terbatas pada masalah syari’at/ibadah mahdhah yang telah ada aturannya secara khusus. Kalau konsisten dengan hadits Rasul, maka semua bid’ah itu sesat sifatnya. Maka yang tidak sesat, atau sesuai dengan syari’at tidak dapat dikatakan sebagai bid’ah, sekalipun bid’ah hasanah. Karena menurut hadits Rasul, tidak ada bid’ah hasanah, tapi semua bid’ah adalah dhalalah.

Tanya : Apakah betul bahwa Rasul dalam masalah dzikir tidak menentukan kaifiyah secara khusus? Dan bagaimana dalilnya?

Al-Haq : Betul bahwa Rasulullah tidak menentukan kaifiyah dzikir secara spesifik/khusus. Kalau menyangkut bacaan dzikir, Rasulullah memang telah memberikan tuntunan, dan macamnya sangat banyak sekali. Sekali lagi kalau menyangkut kaifiyah dzikir Rasulullah tidak memberikan batasan. Umat Islam boleh dzikir dalam keadaan bagaimanapun juga, sebagaimana Rasulullah berdzikir dalam semua keadaan dan situasi. Hal itu berbeda dengan aturan shalat yang memang telah ditentukan oleh Rasulullah tatacara atau kaifiyahnya. Seperti penjelasan sebuah hadits Rasul sebagai berikut:
قالت عائشة رضي الله عنها: كان النبى صلعم. يذكر الله على كل أحيانه. أى كل أوقاته التى يباح فيها ذكر الله.
Artinya: ‘Aisyah RA. berkata: Rasulullah berdzikir kepada Allah dalam setiap keadaan/kondisinya. Artinya setiap waktu yang diperbolehkan untuk berdzikir.
Jadi hadits tersebut secara gambling menjelaskan bahwa Rasulullah tidak pernah membuat kaifiyah khusus dalam berdzikir, Rasulullah berdzikir dalam semua keadaan, dalam semua kondisinya. Hal itu berbeda dengan ketentuan dalam ibadah mahdhah lainnya semisal shalat. Kalau dalam shalat Rasul secara jelas mengajarkan kaifiyahnya secara detail dan khusus. Seperti dijelaskan dalam sebuah hadistnya sebagai berikut:
صلوا كما رأيتمونى أصلى
Artinya: Shalatlah kamu sekalian sebagaimana kamu melihat saya melakukan (kaifiyah) shalat
Sedangkan untuk berdzikir, Rasulullah tidak pernah menyuruh sebagaimana Rasul menyuruh dalam melaksanakan shalat. Rasul tidak pernah mengatakan “berdzikirlah kamu sekalian sebagaimana kamu melihat saya melakukan (kaifiyah) dzikir”. Jadi jelaslah bahwa memang Rasulullah tidak pernah membatasi harus dalam keadaan bagaimana umatnya berdzikir. Dengan demikian sah-sah saja umatnya berdzikir kepada Allah dalam keadaan bergetar atau mengurut seluruh tubuhnya. Jika ada orang yang membatasi keadaan dzikir, atau mengharamkan suatu amal dzikir hanya karena dilakukan dengan cara bergetar atau mengurut, berarti dia telah berani melampaui wewenang Rasulullah. Yakni mengharamkan apa yang sebetulnya diperbolehkan oleh Rasulullah, dan orang yang demikian itu harus banyak beristighfar kepada Allah, mohon ampunan kepada-Nya. 

Tanya : Apakah ada pengamalan lain selain penggetaran dan pengurutan dalam amalan al-Haq?

Al-Haq : Ya ada, yaitu antara lain mengeluarkan Jin, Syaithan, Iblis, Ifrit, Sihir, Kekuatan Pranasakti, Kekuatan Ghaib yang datang tidak dari Allah. Yakni dengan dzikir itu diniatkan untuk mengeluarkan hal-hal tersebut dari tubuh kita. Jadi hal itu sebagaimana dijelaskan oleh Rasulullah bahwa dzikir dapat mengusir jin, syaithan dan sejenisnya dari dalam hati dan tubuh manusia. Sebagaimana Rasulullah menjelaskan sebagai berikut:
إن الشيطان جاثم فى قلب الناس إذا ذكر الله خنس وإذا غفل وسوس
Artinya: Sesungguhnya Syaithan itu menetap dalam hati manusia, jika hati itu berdzikir kepada allah maka (Syaithan tersebut) akan tersungkur dan jika hati itu lupa berdzikir kepada Allah maka (Syaithan tersebut) akan menggodanya
.
Selain hadits tersebut, ada sebuah riwayat dari ‘Aisyah tentang bagaimana syaithan telah dikeluarkan oleh Allah dari diri Rasulullah, yang kemudian kita ikuti meskipun hanya berapa persennya saja. Riwayat tersebut sebagai berikut:
وتحدث السيدة عائشة فقالت خرج النبى صلعم. من عندى ليلا فغرت عليه فجاء فرأى ما أصنع (من أثر الغيرة) فقال: ما لك يا عائشة؟ أغرت؟ قلت وما لى لا يغار مثلى على مثلك فقال: أقد جاءك شيطانك, قلت يا رسول الله أمعى شيطان؟ قال: نعم. قلت ومع كل إنسان؟ قال: نعم, قلت: ومعك يا رسول الله؟ قال: نعم ولكن اعاننى الله عليه حتى أسلم (حتى أنجو من شره)
Artinya: Dan Sayidah ‘Aisyah menderitakan, maka kemudian dia berkata: Pada suatu malam Rasulullah keluar dari rumah saya, maka kemudian saya cemburu terhadapnya. Maka kemudian Rasul datang dan melihat apa yang saya perbuat (akibat cemburaun). Kemudian Rasulullah bersabda: Apa yang kau perbuat Ya ‘Aisyah?, Apakah kamu cemburu? Saya berkata: Bagaaimana orang seperti saya tidak cemburu kepada orang sepertimu. Maka kemudian Rasul bersabda: Apakah syaithanmu telah datang kepadamu?, kemudian saya berkata: Ya Rasulullah apakah syaithan itu menyertai saya?. Rasul bersabda: Ya. Saya berkata: Dan juga menyertai semua manusia? Rasul bersabda: Ya. Saya berkata: Dan juga menyertaimu juga ya Rasulullah? Ya, tapi allah telah menolongu (membebaskanku) atas syaithan tersebut, sehingga saya selamat dari perbuatan jeleknya. 

Tanya : Apakah masih ada amalan lain selain itu?

Al-Haq : Ya ada. Yakni melindungi diri -dengan dzikir dan karena Allah- dari gangguan Jin, Syaithan, Iblis, Ifrit, Sihir, Kekuatan Pranasakti, Perbuatan orang-orang sombong, orang-orang kafir dan sebagainya.

Tanya : Jika perlindungan yang demikian itu dilakukan pada waktu berjihad apakah tidak bertentangan dengan sunnah Rasul.

Al-Haq : Tidak bertentangan dengan sunnah Rasul. Perlindungan diri kepada Allah melalui dzikir merupakan sunnah Rasul yang perlu kita ikuti. Sebagai dasarnya umat Islam senantiasa untuk berlindung dari godaan syaitan yang terkutuk. Seperti dalam bacaan Ta’awudh.
أعوذ بالله من الشيطان الرجيم
Artinya: Aku berlindung kepada Allah dari godaan Syaithan yang terkutuk
Selain itu juga sebagaimana dijelaskan dalam surat al-Nas dan surat al-Falaq. Yaitu orang Islam disuruh untuk berlindung kepada Allah dari godaan Syaithan, dari perbuatan ahli sihir, dan juga perbuatan orang-orang hasud dan perbuatan-perbuatan jelek lainnya.
Selanjutnya kaitannya dengan jihad, mohon perlindungan itu juga disunnahkan oleh Rasulullah seperti dijelaskan dalam berbagai haditsnya sebagai berikut:
عن أبى موسى الأشعرى رضى الله عنه أن النبى صلعم. إذا خاف قوما قال: اللهم إنا نجعلك فى نحورهم ونعوذ بك من شرورهم
Artinya: Dari Abu Musa al-Asy’ariy RA. sesungguhnya Nabi Saw. ketika khawatir -terhadap bahaya yang timbul- dari suatu kaum berdo’a: Ya Allah kami memasrahkan kepada-Mu di dalam kurban mereka/kekalahan mereka, dan kami berlindung kepada-Mu dari kejahatan/kejelekan yang mereka perbuat.
Selain hadits yang diriwayatkan oleh Abu Dawud dan Nasa’i, tersebut banyak penjelasan lainnya antara lain;
عن جابر رضى الله عنه قال: قال رسول الله صلعم. يوم حنين: لا تتمنوا لقاء العدو فإنكم لا تدرون ما تبتلون به منهم, فإذا لقيتموهم فقولوا: اللهم أنت ربنا وربهم, وقلوبهم بيدك وإنما تغلبهم أنت.
Artinya: Dari Jabir RA. berkata: berdabda Rasulullah Saw. pda waktu perang Hunain; Janganlah kamu sekalian mengharap bertemu dengan musuh, karena sesungguhnhay kamu tidak tahu apa yang akan terjadi ketiak bertemu dengan mereka, maka ketika bertemu dengan mereka (musuh) berdo’alah kamu sekalian; Ya Allah Engkau adalah Tuhan kami dan Tuhan mereka, dan hati mereka berada pada kekuasaan-Mu dan hanya Engkau lah yang dapat mengalahkan mereka.
عن عبد الله بن أبى أوفى أن رسول الله صلعم. فى بعض أيام التى لقى فيها العدو انتظر حتى مالت الشمس, ثم قام فى الناس فقال: (أيها الناس لاتتمنوا لقاء العدو, وسلوا الله العافية, فإذا لقيتموهم فاصبروا, واعلموا أن الجنة تحت ظلال السيوف, ثم قال: اللهم منزل الكتاب, ومجرى السحاب, وهازم الأحزاب اهزمهم وانصرنا عليهم
Artinya: Dari Abdullah bin Abu Auf sesungguhnya Rasulullah Saw. di dalam sebagian hari-hari peperangan dengan musuh beliau menunggu hingga terbenanmnya matahari, kemudian beliau berdiri di antara manusia (shahabat) dan kemudan bersabda: “ Wahai para manusia janganlah kamu mengharap bertemu dengan musuh, dan mohonlah kesehatan kepada Allah, dan jika kamu bertemu dengan mereka (musuh) bersabarlah, dan ketahuilah bahwa surga itu lebih dekat bagi orang-orang yang mau berperang/berjuang di jalan Allah. Kemudian Rasulullah berdo’a: “Ya Allah dzat yang menurunkan al-Kitab dan yang menjalankan awan, dan yang mengalahkan perang, kalahkanlah mereka dan tolonglah kami untuk menang atas mereka.

Tanya : Apakah manusia dapat bertemu dengan malaikat?

Al-Haq : Sebelum menjawab pertanyaan itu, perlu dismpaikan bahwa malaikat adalah sesuatu yang ghaib bagi manusia. Alam manusia berbeda dengan alam malaikat. Asal kejadiannya juga berbeda jika manusia dicipta dari tanah malaikat dicipta dari nur/cahaya. Kemudian dilihat dari kesempurnaannya, pada dasarnya manusia lebih sempurna dibanding malaikat. Karena manusia memiliki berbagai unsure yang tidak dimiliki oleh malaikat. Manusia punya unsure jasad yang tidak dimiliki oleh malaikat, manusia memliki nafsu yang tidak dimiliki oleh malaikat. Jika manusia dapat mengoptimalkan apa yang dimiliki itu, manusia dapat lebih sempurna dari malaikat. Bahkan jika manusia sudah mencapai derajat keimanan yang sempurna, Allah akan jadi pendengarannya, Allah akan jadi penglihatannya dan Allah juga akan jadi tangannya. Kalau sudah demikian halnya, maka segala sesuatu menjadi mungkin adanya. Karena Allah yang menghendaki. Jadi bisa-bisa saja manusia bertemu dengan malaikat, berdialog dengan mereka dan sebagainya. Allah menjelaskan sebagai berikut:
إن الله على كل شئ قدير
Artinya: Sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu.

Tanya : Apakah Khidhir itu ada dan masih hidup?

Al-Haq : Ya betul bahwa di antara sekian banyak hamba Allah di dunia ini ada yang bernama Hidhir. Al-Qur’an pernah menceritakan kisah Hidzir tersebut dalam surat al-Kahfi. Al-qur’an menjelaskan bahwa dia adalah seorang hamba Allah yang diberi rahmat dari sis-Nya juga telah diajari berbagai ilmu oleh dan dari Allah. Menurut sebuah riwayat nama Hidhir, sebetulnya adalah laqab atau julukan, bukan nama sebenarnya. Nama yang sebenarnya adalah Balya bin Malkan, atau Iliyya bin Malkan. Nama Hidzir tersebut dikarenakan, suatu ketika dia duduk di suatu gurun yang kering dan tandus, kemudian setelah diduduki oleh Hidhir/Balya bin Malkan gurun gersang dan kering tersebuet menjadi hijau (khadhra’/khidhir)dan subur. Hal itu sebagaimana dijelaskan oleh Hadits Rasul yang dikutip oleh Imam Nawawiy sebagai berikut;
أن النبى صلعم. قال : إنما سمى الخضر لأنه جلس على فروة فإذا هى تهتز من خلفه خضرأ
Artinya: Dia (Balya bin Malkan) dinamakan Khidir, karena dia duduk di suatu padang yang tandus dan seketika itu juga padang tandus itu menjadi hijau dan subur.
Selanjutnya menurut penjelasan Imam Nawawiy, Khidhir adalah seorang alim, shaleh, yang memiliki ilmu yang sangat dalam. Dan dia bukan seorang nabi juga bukan seorang Rasul. Imam Nawawiy juga mengatakan bahwa hamba allah yang bernama Khidihir tersebut hingga saat ini masih hidup.
Pendirian semacam itu tidak salah karena memang tidak ada penjelasan dari Allah atau Rasulnya yang mengatakan bahwa Khidhir telah meninggal dunia. Masalah di seputar Khidhir hanya diketahui lewat informasi dari Allah. Sebagai misal kita tahu tentang adanya Khidhir karena informasi dari Allah (dalam al-Qur’an). Dengan demikian informasi ketidakberadaannya (Khidhir) juga hanya berdasar dari Allah. Sementara Allah lewat al-Qur’an tidak pernah menyatakan tentang kematiannya, dengan demikian jika seseorang menganggap bahwa Khidhir masih hidup hingga sekarang adalah betul karena al-Qur’an tidak pernah mengatakan bahwa dia telah meninggal.
Jika ada orang yang mengatakan bahwa Khidhir adalah manusia biasa yang juga memiliki umur sebagaimana manusia biasa, dengan demikian menurut kebiasaan dan logika dia telah meninggal dunia, maka sebetulnya orang tersebut telah mendahulukan akal fikirannya dan menomorduakan informasi al-Qur’an berkaitan dengan sesuatu yang seharusnya disandarkan pada al-Qur’an sebagai sumber kebenaran menyangkut masalah-masalah ghaib.
Kata Sambutan Guru Besar Al-Haq
السلام عليكم ورحمة الله وبركاته
ألحمد لله الذى هدنا سبيل الحق, أشهد ان لا إله إلا الله وأشهد أن محمدا عبده ورسوله اللهم صل وسلم وبارك على محمد وعلى اله واصحبه أجمعين.
Sekali lagi marilah kita panjatkan puji syukur kepada Allah Subhanahu Wata’ala yang telah menunjukkan kita pada jalan kebenaran, shalawat dan salam senantiasa terhunjuk kepada baginda Rasul Muhammad Saw. yang telah berani mengorbankan segalanya untuk menyelamatkan umat manusia dari jalan kehancuran.
Hanya dengan rahmat Allah buku kecil yang bersisi tentang Tanya jawab seputar masalah amalan al-Haq dapat diselesaikan oleh salah seorang anggota al-Haq yang berada di Salatiga Jawa Tengah. Semoga buku kecil dan sederhana ini menjadi amal jariyah bagi penyusunnya dan memberikan manfaat bagi sidang pembaca semua, khususnya anggota al-Haq dan masyarakat Islam pada umumnya.
Buku ini disusun dalam upaya menjelaskan secara tertulis kepada anggota al-Haq pada khususnya dan masyarakat Islam pada umumnya tentang amalan al-Haq. Upaya penjelasan secara tertulis ini saya ras penting agar masyarakat luas tidak kesulitan lagi jika ingin mengetahui bagaimana sebetulnya amalan al-Haq tersebut. Selain itu penjelasan secara tertulis juga dapat menghindarkan lebih jauh persangkaan-persangkaan yang minor atau negatif tehadap amalan ini, yang mana persangkaan-persangkaan minor itu bisa mengakibatkan friksi bahkan perpecahan di antara umat Islam sendiri.
Harapan saya kepada sidang pembaca, baik anggota al-Haq maupun masyarakat Islam pada umumnya dengan membaca buku kecil ini kita dapat saling memahami, menghormati satu dengan yang lain dan tidak terjadi saling salah pemahaman yang akan berujung pada perpecahan. Dan dengan buku yang sederhana ini semoga jika ada perbedaan persepsi di antara kita tentang amalan, kita tidak terjebak pada perdebatan yang berkepanjangan, tapi sebaliknya justru saling bertoleransi atau dalam bahasa agama saling bertasamuh. Amien.
Selanjutnya khusus kepada semua anggota al-Haq, saya harapkan semoga senantiasa melanggengkan dzikir kepada Allah semata-mata untuk mencari Ridha-Nya dan senantiasa meningkatkan kesabaran, ketabahan dan ketaqwaan kepada Allah Subhanahu Wata’ala.
Dan akhirnya,
بالله فى سبيل الحق
والسلام عليكم ورحمة الله وبركاته
Luwuk, Januari 2003
Guru Besar al-Haq
SAIDI LARAU




PENGANTAR PENULIS
السلام عليكم ورحمة الله وبركاته
ألحمد لله الذى هدنا سبيل الحق, أشهد ان لا إله إلا الله وأشهد أن محمدا عبده ورسوله اللهم صل وسلم وبارك على محمد وعلى اله واصحبه أجمعين.
Puji syukur kita panjatkan kepada Allah yang telah memberikan rahmat kepada kita semua, shalawat dan salam semoga selalu kita haturkan kepada beliau Nabiyullah Muhammad Saw. yang secara totalitas memberikan hidupnya untuk keselamatan dan kebahagiaan umat manusia.
Sekali lagi penulis memanjatkan puji syukur kepada Allah Swt., karena dengan limpahan rahmatnya penulis dapat menyelesaikan buku kecil lagi sederhana ini. Buku yang berisi tentang Tanya Jawab di seputar persoalan amalan al-Haq. Buku ini tersusun selain terdorong keinginan untuk menjelaskan kepada umat Islam secara luas tentang amalan ini, juga karena atas saran dan anjuran serta restu dari Guru Besar al-Haq, al-Mukarram Saidi Larau.
Harapan penulis, semoga dengan buku yang sederhana ini dapat memberikan penjelasan tambahan secara tertulis tentang amalan al-Haq, tidak hanya kepada anggota al-Haq lebih dari itu kepada umat Islam semua. Harapan selanjutnya setelah memahami amalan ini, kepada yang belum mengamalkan dapat mengamalkannya.
Harapan lain, bagi pihak-pihak yang berbeda persepsi dengan amaln ini, dengan adanya buku ini dapat memahami perbedaan persepsi tersebut, yang akan berujung pada sikap saling pengertian dan tidak mengklaim benar sendiri di satu sisi dan di sisi yang lain menyalahkan atau mendiskriditkan pihak lain.
Selanjutnya tidak ada harapan yang lebih mulia dari semua harapan yang ada -dengan ditulisnya buku ini- yaitu semata-mata untuk mengharap Ridha Allah Swt. Dan semoga usaha tabayyun dan i’tibar yang ada di dalam buku ini menjadi amal jariyah bagi penulis. Amien.
Dan akhirnya,
بالله فى سبيل الحق
والسلام عليكم ورحمة الله وبركاته
Salatiga,07Januari 2003
Penulis
Anggota al-haq salatiga
Jawa tengah

Tidak ada komentar:

Posting Komentar