Berikut ini adalah Biografi Pendiri
Amalan Dzikir Al-Haq, Abah H. Saidi Larau. Catatan biografi ini adalah hasil
wawancara yang dilakukan pada pertengahan tahun 2001 oleh Achmad Maimun, salah
seorang anggota Al-Haq dari Salatiga Jawa Tengah dengan Abah H. Saidi Larau,
yang oleh murid-muridnya disebut sebagai Guru Besar Amalan Dzikir al-Haq.
Selamat menmbaca dan mengikuti.
Silsilah
Nama lengakapnya adalah: H. Saidi Larao. Beliau lahir pada 10 April 1933 di Binsil. Sebuah desa di pedalaman Kabupaten Luwuk Sulawesi Tengah. Binsil adalah sebuah desa yang hening dan damai. Jauh dari hiruk pikuk dan keramaian serta kebisingan kota. Sebuah desa yang masih asri dan jauh dari pencemaran lingkungan maupun pencemaran moral. Pada saat digalakkannya program transmigrasi oleh pemerintah, desa tersebut menjadi salah satu daerah transmigrasi. Maka tidak heran jika di desa tersebut banyak ditemui orang-orang pendatang khsususnya dari Jawa, mereka adalah yang mengikuti program tansmigrasi pada saat itu.
Secara geneologis, H. Saidi Larao
memiliki hubungan dengan Raden Maulana. Seorang utusan dari kerajaan Jogjakarta
yang datang ke Sulawesi Tengah pada abad lampau. Berturut-turut silsilahnya
adalah sebagai berikut:
Ayahanda dari H. Saidi Larau bernama Laponci sedangkan Ibundanya bernama Ibu Mantasia. Beliau H. Saidi Larau merupakan putra ke enam, dari delapan bersaudara. Nama-nama saudaranya berturut-turut dari yang tertua adalah sebagai berikut; Aisyah, Nura, Hawariyah, Dariyamah dan Said. Sedangkan kedua adiknya adalah Salmah dan Sulaiman.
Ayahanda H. Saidi Larau, yang bernama Laponci adalah putra dari Bapak Larao dan Ibu Kinosigar. Bapak Larao dan Ibu Kinosigar adalah kakek dan nenek dari Guru Besar al-Haq. Sedangkan Larao adalah putra Raden Maulana utusan dari kerajaan Jogjakarta yang diutus oleh Sultan pada saat itu untuk perjalanan muhibah ke Sulawesi. Di Sulawesi pulalah Raden Maulana dimakamkan tepatnya di Donggala.
Sedangkan dari garis keturunan ibu, H. Saidi Larau berasal dari Sulawesi Selatan. Ibunda H. Saidi Larau yang beranama Mantasia adalah putri dari Daeng Ngareng. Beliau adalah seorang Punggawa dari Kerajaan Gowa di Sulawesi Selatan. Pada saat Kerajaan Gowa mengalami berbagai kekalahan dalam peperangan, banyak punggawa dan panglima yang berhasil menyelamatkan diri. Salah satu di antara punggawa kerajaan itu adalah Daeng Ngareng, Kakek dari H. Saidi Larau dari garis keturunan Ibu.
Ayahanda dari H. Saidi Larau bernama Laponci sedangkan Ibundanya bernama Ibu Mantasia. Beliau H. Saidi Larau merupakan putra ke enam, dari delapan bersaudara. Nama-nama saudaranya berturut-turut dari yang tertua adalah sebagai berikut; Aisyah, Nura, Hawariyah, Dariyamah dan Said. Sedangkan kedua adiknya adalah Salmah dan Sulaiman.
Ayahanda H. Saidi Larau, yang bernama Laponci adalah putra dari Bapak Larao dan Ibu Kinosigar. Bapak Larao dan Ibu Kinosigar adalah kakek dan nenek dari Guru Besar al-Haq. Sedangkan Larao adalah putra Raden Maulana utusan dari kerajaan Jogjakarta yang diutus oleh Sultan pada saat itu untuk perjalanan muhibah ke Sulawesi. Di Sulawesi pulalah Raden Maulana dimakamkan tepatnya di Donggala.
Sedangkan dari garis keturunan ibu, H. Saidi Larau berasal dari Sulawesi Selatan. Ibunda H. Saidi Larau yang beranama Mantasia adalah putri dari Daeng Ngareng. Beliau adalah seorang Punggawa dari Kerajaan Gowa di Sulawesi Selatan. Pada saat Kerajaan Gowa mengalami berbagai kekalahan dalam peperangan, banyak punggawa dan panglima yang berhasil menyelamatkan diri. Salah satu di antara punggawa kerajaan itu adalah Daeng Ngareng, Kakek dari H. Saidi Larau dari garis keturunan Ibu.
Keluarga
Abah H. Saidi Larau, diberi karunia oleh Allah 3 orang anak dari pernikahan beliau dengan Ibu Fauziyah (wafat tahun 1992) pada tahun 1969. Satu putra dan dua orang putrid. Putra tertuanya bernama Rizal yang lahir pada tahun 1972. Dedangkan kedua putrinya adalah Siti Zuhria lahir tahun 1974 dan Siti Zaenab yang terlahir pada tahun 1977.
Riwayat Pendidikan
Pendidikan formal yang mula-mula diikuti oleh beliau Abah H. Saidi Larau adalah Folkschoole (Sekolah Desa) pada tahun 1940, yang lama pendidikannya adalah tiga tahun Beliau lulus dari FS di Malio pada tahun 1944.
Setelah lulus dari Folkschoole kemudian melanjutkan ke Sekolah Rakyat (SR) di Boalemo. Untuk menempuh pendidikan di Sekolah Rakyat ini dibutuhkan waktu tiga tahu pula. Sekolah Rakyat ini, di Boalemo baru dibuka pada tahun 1947. Jadi meskipun beliau telah lulus FS pada tahun 1944, maka tidak langsung melanjutkan studi ke SR tersebut. Pada tahun 1950 beliau lulus dari Sekolah Rakyat.
Setelah lulus dari SR di Boalemo, berkat keinginan belajarnya yang besar, beliau kemudian melanjutkan sekolah di Sekolah Menengah Islam (SMI) yang berada di Pagimana, dan lulus pada tahun 1954. Ketika beliau duduk di bangku SMI itu, ada sosok guru yang memberikan menginspirasi dan motivasi kepada beliau untuk terus belajar dan belajar. Guru tersebut adalah, Bapak Aslam Daroni. Bapak Aslam Daroni ini adalah seorang guru di SMI Pagimana yang didatangkan dari Jogjakarta. Motivasi yang diberikan oleh sang guru tersebut, telah mendorong H. Saidi Larau untuk merantau ke Jogja untuk belajar dan menimba ilmu di tempat asal sang guru yang telah memberikan inspirasi dan motivasi itu, yakni di Jogjakarta.
Keinginan dan hasrat yang besar untuk belajar yang bertemu dengan pemberian motivasi yang tinggi dari figure guru, telah mendorongnya untuk tidak puas belajar hanya di SMI. Lebih dari itu, beliau melanjutkan studi ke pula Jawa, tepatnya di Kota Jogjakarta.
Sekolah yang menjadi pilihannya waktu itu adalah Mualimin Jogjakarta. Memang sebuah prestasi yang luar biasa, pada saat di mana orang belum begitu tertarik untuk sekolah, namun beliau yang orang desa di ujung pulau Sulawesi, di pesisir Samudera beliau pada masa itu telah belajar ke Kota Pelajar. Betapa hal ini merupakan gambaran dari sebuah perjuangan dan kegigihan dan ketangguhan hidup. Pada usianya yang masih sangat belia (21 tahun) hanya dengan bermodalkan semangat beliau menempuh perjalanan yang sangat panjang dari desanya Binsil hingga ke Jogjakarta, yang tidak lain hanya untuk menuntut ilmu.
Setelah menempuh perjalanan panjang, akhirnya beliau sampai pula di Kota Gudeg. Pada tahun 1954 beliau masuk di Mualimin Muhammadiyah Jogjakarta. Pada tahun 1956 studi di Mualimin dapat diselesaikan. Dan pada tahun 1957 awal beliau pulang ke kampong halamannya, Binsil.
Kiprah di Masyarakat
Setelah pulang, kurang lebih dalam waktu enam bulan beliau tinggal di Desa Binsil untuk melepaskan rindu dengan kampung halamannya. Ghirah untuk berjuang membuatnya hijrah ke Gorontalo. Di sana beliau mendirikan sekolah, yakni Sekolah Menengah Petama (SMP) Muhammadiyah. Beliau sendiri pula yang memimpin SMP tersebut dan dibantu dengan beberapa orang temannya. Antara lain; Everdungga, Yasir Adipu, Elihidiya dan Markami. Amanah menjadi kepala sekolah beliau jalankan selama kurang lebih tiga tahun. Untuk kemudian amanah itu dipercayakan kepada temannya yang bernama Yasir Adipu.
Pada saat itu sebetulnya beliau memiliki keinginan untuk merantau ke negeri jiran Malaysia, akan tetapi berhubung terkendala oleh masalah dana, akhirnya niatan itu dibatalkan. Karena pada saat itu berbarengan dengan adik bungsunya yang bernama Sulaiman menempuh studi di Universitas Hasanuddin Ujung Pandang, yakni pada tahun 1960.
Keputusan yang diambil kemudian adalah pulang ke kampong halaman lagi, Binsil. Beliau pada saat itu, memilih bertani hingga pada tahun 1962. Pada saat beliau betani itu, sebetulnya pemikiran dan kehadirannya di Gorontalo masih sangat diharapkan. Yakni pada tahun-tahun itu pula ada permintaan dari Konsul Muhammadiyah agar beliau berkiprah di Gorontalo lagi, namun beliau tidak menyanggupinya.
Jalan hidup yang dipilih beliau saat itu ternyata adalah menjadi Pegawai Negeri Sipil. Yakni menjadi PNS di instansi Perpajakan. Akan tetapi tampaknya situasi dan system yang berjalan di perpajakan yang beliau rasakan saat itu tidak sesuai dengan prinsip hidup yang didasari dengan syariat Islam. Keteguhan dalam memegang prinsip ajaran Islam telah membuat beliau sangat tidak nyaman dan tidak teteram dengan hidup dari hasil kerja yang banyak bertentangan dengan hati nurani. Akhirnya PNS di perpajakan itu hanya beliau jalani kurang lebih satu tahun. Suara hatinya yang menolak berbagai system yang berjalan saat itu telah mendorongnya keluar dari PNS. Yakni pada tahun 1963.
Bertani di kampung halaman akhirnya menjadi pilihannya kembali. Dengan kesungguhan dan ketelatenan beliau berhasil dalam bidang ini. Hingga suatu saat hasil pertaniannya dapat digunakan sebagai modal awal untuk membeli dua perahu layer, yang berkapasitas muat kurang lebih 4 s.d 5 ton. Dua kapal itu beliau beli di daerah Panghalassean.
Dengan modal dua kapal itulah kemudian beliau mengembangkan usaha dagang. Dari Binsil ke Pagimana juga ke pulau-pulau di sekitar dan seberang desa. Perdagangan yang digelutinya adalah hasil-hasil bumi dan pakaian. Singkat riwayat, pada kuang lebih tahun 1973, usaha dagang beliau tinggalkan untuk kemudian beralih ke usaha perikanan dengan membuat empang yang luasanya kurang lebih 3 hektar. Namun Allah tampaknya berkehendak lain. Setelah usaha empang dijalankan untuk beberapa lama, banjir yang terjadi membuat usaha empang gagal.
Abah H. Saidi Larau, diberi karunia oleh Allah 3 orang anak dari pernikahan beliau dengan Ibu Fauziyah (wafat tahun 1992) pada tahun 1969. Satu putra dan dua orang putrid. Putra tertuanya bernama Rizal yang lahir pada tahun 1972. Dedangkan kedua putrinya adalah Siti Zuhria lahir tahun 1974 dan Siti Zaenab yang terlahir pada tahun 1977.
Riwayat Pendidikan
Pendidikan formal yang mula-mula diikuti oleh beliau Abah H. Saidi Larau adalah Folkschoole (Sekolah Desa) pada tahun 1940, yang lama pendidikannya adalah tiga tahun Beliau lulus dari FS di Malio pada tahun 1944.
Setelah lulus dari Folkschoole kemudian melanjutkan ke Sekolah Rakyat (SR) di Boalemo. Untuk menempuh pendidikan di Sekolah Rakyat ini dibutuhkan waktu tiga tahu pula. Sekolah Rakyat ini, di Boalemo baru dibuka pada tahun 1947. Jadi meskipun beliau telah lulus FS pada tahun 1944, maka tidak langsung melanjutkan studi ke SR tersebut. Pada tahun 1950 beliau lulus dari Sekolah Rakyat.
Setelah lulus dari SR di Boalemo, berkat keinginan belajarnya yang besar, beliau kemudian melanjutkan sekolah di Sekolah Menengah Islam (SMI) yang berada di Pagimana, dan lulus pada tahun 1954. Ketika beliau duduk di bangku SMI itu, ada sosok guru yang memberikan menginspirasi dan motivasi kepada beliau untuk terus belajar dan belajar. Guru tersebut adalah, Bapak Aslam Daroni. Bapak Aslam Daroni ini adalah seorang guru di SMI Pagimana yang didatangkan dari Jogjakarta. Motivasi yang diberikan oleh sang guru tersebut, telah mendorong H. Saidi Larau untuk merantau ke Jogja untuk belajar dan menimba ilmu di tempat asal sang guru yang telah memberikan inspirasi dan motivasi itu, yakni di Jogjakarta.
Keinginan dan hasrat yang besar untuk belajar yang bertemu dengan pemberian motivasi yang tinggi dari figure guru, telah mendorongnya untuk tidak puas belajar hanya di SMI. Lebih dari itu, beliau melanjutkan studi ke pula Jawa, tepatnya di Kota Jogjakarta.
Sekolah yang menjadi pilihannya waktu itu adalah Mualimin Jogjakarta. Memang sebuah prestasi yang luar biasa, pada saat di mana orang belum begitu tertarik untuk sekolah, namun beliau yang orang desa di ujung pulau Sulawesi, di pesisir Samudera beliau pada masa itu telah belajar ke Kota Pelajar. Betapa hal ini merupakan gambaran dari sebuah perjuangan dan kegigihan dan ketangguhan hidup. Pada usianya yang masih sangat belia (21 tahun) hanya dengan bermodalkan semangat beliau menempuh perjalanan yang sangat panjang dari desanya Binsil hingga ke Jogjakarta, yang tidak lain hanya untuk menuntut ilmu.
Setelah menempuh perjalanan panjang, akhirnya beliau sampai pula di Kota Gudeg. Pada tahun 1954 beliau masuk di Mualimin Muhammadiyah Jogjakarta. Pada tahun 1956 studi di Mualimin dapat diselesaikan. Dan pada tahun 1957 awal beliau pulang ke kampong halamannya, Binsil.
Kiprah di Masyarakat
Setelah pulang, kurang lebih dalam waktu enam bulan beliau tinggal di Desa Binsil untuk melepaskan rindu dengan kampung halamannya. Ghirah untuk berjuang membuatnya hijrah ke Gorontalo. Di sana beliau mendirikan sekolah, yakni Sekolah Menengah Petama (SMP) Muhammadiyah. Beliau sendiri pula yang memimpin SMP tersebut dan dibantu dengan beberapa orang temannya. Antara lain; Everdungga, Yasir Adipu, Elihidiya dan Markami. Amanah menjadi kepala sekolah beliau jalankan selama kurang lebih tiga tahun. Untuk kemudian amanah itu dipercayakan kepada temannya yang bernama Yasir Adipu.
Pada saat itu sebetulnya beliau memiliki keinginan untuk merantau ke negeri jiran Malaysia, akan tetapi berhubung terkendala oleh masalah dana, akhirnya niatan itu dibatalkan. Karena pada saat itu berbarengan dengan adik bungsunya yang bernama Sulaiman menempuh studi di Universitas Hasanuddin Ujung Pandang, yakni pada tahun 1960.
Keputusan yang diambil kemudian adalah pulang ke kampong halaman lagi, Binsil. Beliau pada saat itu, memilih bertani hingga pada tahun 1962. Pada saat beliau betani itu, sebetulnya pemikiran dan kehadirannya di Gorontalo masih sangat diharapkan. Yakni pada tahun-tahun itu pula ada permintaan dari Konsul Muhammadiyah agar beliau berkiprah di Gorontalo lagi, namun beliau tidak menyanggupinya.
Jalan hidup yang dipilih beliau saat itu ternyata adalah menjadi Pegawai Negeri Sipil. Yakni menjadi PNS di instansi Perpajakan. Akan tetapi tampaknya situasi dan system yang berjalan di perpajakan yang beliau rasakan saat itu tidak sesuai dengan prinsip hidup yang didasari dengan syariat Islam. Keteguhan dalam memegang prinsip ajaran Islam telah membuat beliau sangat tidak nyaman dan tidak teteram dengan hidup dari hasil kerja yang banyak bertentangan dengan hati nurani. Akhirnya PNS di perpajakan itu hanya beliau jalani kurang lebih satu tahun. Suara hatinya yang menolak berbagai system yang berjalan saat itu telah mendorongnya keluar dari PNS. Yakni pada tahun 1963.
Bertani di kampung halaman akhirnya menjadi pilihannya kembali. Dengan kesungguhan dan ketelatenan beliau berhasil dalam bidang ini. Hingga suatu saat hasil pertaniannya dapat digunakan sebagai modal awal untuk membeli dua perahu layer, yang berkapasitas muat kurang lebih 4 s.d 5 ton. Dua kapal itu beliau beli di daerah Panghalassean.
Dengan modal dua kapal itulah kemudian beliau mengembangkan usaha dagang. Dari Binsil ke Pagimana juga ke pulau-pulau di sekitar dan seberang desa. Perdagangan yang digelutinya adalah hasil-hasil bumi dan pakaian. Singkat riwayat, pada kuang lebih tahun 1973, usaha dagang beliau tinggalkan untuk kemudian beralih ke usaha perikanan dengan membuat empang yang luasanya kurang lebih 3 hektar. Namun Allah tampaknya berkehendak lain. Setelah usaha empang dijalankan untuk beberapa lama, banjir yang terjadi membuat usaha empang gagal.
Menerima Karomah dari Allah
Kung lebih pada tahun 1979 menjelang tahun 80-an, yang pada saat itu Abah H. Saidi Larau telah berusia kurang lebih 47 tahun mendapat semacam ilham dari Allah, untuk mengamalkan suatu dzikir tertentu. Beliau mengalami dan merasa dibimbing dan dipandu untuk mengamalkan dzikir-dzikir, yang akhirnya disebut sebagai pengamalan dzikir al-Haq itu. Siapa yang memandu tentu saja tidak perlu disebutkan di tulisan ini. Setelah dipandu dan dibimbing berulang kali, beliau amalkan sendiri. Tidak ditularkan dan tidak disebarkan kepada siapapun. Dan sempat dalam waktu yang agak lama amaln itu tidak dijalankannya lagi.
Sebulan setelah usia beliau mencapai 60 tahun atau kurang lebih setelah 13 tahun menapatkan ilham itu, beliau merasa ada yang mengingatkan tentang amalan itu dan disuruh untuk menularkan kepada orang lain. Akhirnya pada tahun menjelang wafat dari istri beliau, amalan dzikir al-Haq itu diajarkan kepada orang lain terutama kepada kerabat dan keluarga.
Orang pertama yang dipandu untuk mengamalkan dzikir ini adalah Mansur Ali, masih ada hubungan sebagai kemenakan. Sarifuddin Aminullah, Kasim Thahir (murid ini belakangan justru menyimpangkan amalan ini), Anshar. Semuanya adalah warga di desa Binsil.
Kung lebih pada tahun 1979 menjelang tahun 80-an, yang pada saat itu Abah H. Saidi Larau telah berusia kurang lebih 47 tahun mendapat semacam ilham dari Allah, untuk mengamalkan suatu dzikir tertentu. Beliau mengalami dan merasa dibimbing dan dipandu untuk mengamalkan dzikir-dzikir, yang akhirnya disebut sebagai pengamalan dzikir al-Haq itu. Siapa yang memandu tentu saja tidak perlu disebutkan di tulisan ini. Setelah dipandu dan dibimbing berulang kali, beliau amalkan sendiri. Tidak ditularkan dan tidak disebarkan kepada siapapun. Dan sempat dalam waktu yang agak lama amaln itu tidak dijalankannya lagi.
Sebulan setelah usia beliau mencapai 60 tahun atau kurang lebih setelah 13 tahun menapatkan ilham itu, beliau merasa ada yang mengingatkan tentang amalan itu dan disuruh untuk menularkan kepada orang lain. Akhirnya pada tahun menjelang wafat dari istri beliau, amalan dzikir al-Haq itu diajarkan kepada orang lain terutama kepada kerabat dan keluarga.
Orang pertama yang dipandu untuk mengamalkan dzikir ini adalah Mansur Ali, masih ada hubungan sebagai kemenakan. Sarifuddin Aminullah, Kasim Thahir (murid ini belakangan justru menyimpangkan amalan ini), Anshar. Semuanya adalah warga di desa Binsil.
Diposkan oleh YAYASAN PENDIDIKAN AKHLAQ
AL-HAQ di
ANDA
BERTANYA AL-HAQ MENJAWAB
Tanya :
Apakah arti dzikir kepada Allah itu
?
Al-Haq : Lafal/kata dzikir diambil dari bahasa Arab,
yakni dari kata dasar/akar kata dzakara (ذكر ).
Kata/lafal dzakara memiliki arti antara lain; mengingat dan menyebut.
Jadi arti dzikir secara bahasa adalah mengingat dan menyebut. Sedangkan secara
istilah (terminologi) dzikir berarti menghadirkan sesuatu dalam hati
sanubari ( إستحضار
الشئ فى القلب). Dari pengertian semacam itu maka arti dzikir secara istilah
syar’i adalah mengingat Allah dalam hati sanubari, dengan menggunakan
bacaan-bacaan dzikir yang telah diajarkan oleh Rasulullah.
Tanya :
Apa tujuan dzikir kepada Allah itu
?.
Al-Haq : Sebelum menjelaskan masalah itu,
terlebih dahulu perlu disampaikan tentang tujuan penciptaan manusia tujuan
hidup manusaia adalah kembali kepada Allah.dan manusia mempunya cara hidup
dengan cara beribadah kepada Allah, untuk mencari Ridha Allah.
Dengan demikian, dzikir yang merupakan salah satu bentuk ibadah
atau pengabdian kepada Allah, memiliki tujuan akhir (ultimate goal)
tidak lain dan tidak bukan adalah untuk mencari Ridha Allah. Bukan untuk
mencari yang lain, selain mencari Ridha Allah.
Tanya : Apa fungsi dzikir itu ?.
Al-Haq : Dzikir sebagai sebuah amalan ibadah,
memiliki banyak fungsi bagi seorang muslim. Fungsi utama dari dzikir adalah
untuk mendapatkan ketenangan jiwa dan mendekatkan diri (taqarrub) kepada
Allah. Jadi dengan dzikir seorang muslim tidak hanya dapat merasa dekat dengan
Allah tapi memang betul-betul dekat dengan Allah dan betul-betul mendapat
ketenangan hati. Sebagaimana dijelaskan oleh Allah dalam surat al-Ra’du ayat:
128.
ألذين أمنوا وتطمئن قلوبهم بذكر الله ألا بذكرالله تطمئن القلوب
Artinya: Orang-orang beriman dan tenang hati mereka dengan berdzikir kepada Allah. Ingatlah bahwa dengan berdzikir kepada Allah akan membuat hati menjadi tenang.
Sedangkan fungsi dzikir kaitannya untuk mendekatkan diri
kepada Allah, Rasulullah menjelaskan dalam sebuah haditsnya sebagai berikut:
قال
رسول الله ص.م: يقول الله عز وجل أنا عند ظن عبدى بى وأنا معه حين يذكرنى فإن
ذكرنى فى نفسه ذكرته فى نفسى ... ألخ.
Artinya: Rasulullah Saw. Telah
bersabda; Allah ’Azza Wajalla berfirman
Aku menurut persangkaan hamba-Ku, dan Aku akan bersamanya ketika dia (hamba Allah
tersebut) berdzikir/mengingat kepada-Ku. Jika dia (hamba Allah)
mengingat/berdzikir kepada-Ku dalam jiwanya, maka Aku juka akan mengingatnya
dalam diri-Ku… dst.
Tanya :
Apakah ada fungsi lain dari dzikir
?.
Al-Haq : Ada. Selain berfungsi dapat membuat
dekat dengan Allah dan kemudian membuat hati menjadi tenang, dzikir juga
memiliki fungsi-fungsi yang lain sebagai berikut:
1. Menjadi obat bagi penyakit bathin seseorang
Dalam kaitan ini Rasulullah menjelaskan dalam sebuah
haditsnya sebagai berikut:
إن
الشيطان جاثم فى قلب الناس إذا ذكر الله خنس وإذا غفل وسوس
Artinya: Syaithan itu senantiasa
menetap dalam hati manusia, jika hati itu berdzikir/mengingat kepada Allah maka
dia (syaitan) akan terjungkir dan jika hati tersebut lalai dari dzikir kepada
Allah maka dia (syaitan) akan menggoda hati manusia tersebut.
Sumber penyakit ruhani manusia adalah syaitan. Syaitan itu
dapat berujud makhluk ghaib dan juga bisa berujud manusia (hawa nafsunya). Obat
yang mujarab bagi penyakit ruhani yang bersumber dari syaitan tersebut
sebagaimana dijelaskan oleh Rasul di atas tidak lain adalah dzikir kepada
Allah.
2. Menjadi
penyehat sekaligus obat bagi penyakit jasmani seseorang
Dijelaskan oleh Rasulullah bahwa bagi umat Islam disediakan
oleh Allah dua obat yang pertama madu dan keduaal-Qur’an. Dalam sebuah hadits
dijelaskan sebagai berikut:
من حديث
إبن مسعود: عليكم بالشفاءين العسل والقرأن
Artinya: Dari hadits yang diceritakan oleh Ibn Mas’ud:
Atasmu (bagimu) ada dua obat yaitu madu dan al-Qur’an
من حديث عبد الله بن جابر, فى فاتحة الكتاب شفاء من كل داء
Artinya: Dari hadits yang diceritakan oleh Abdullah bin Jabir: Di dalam surat al-Fatihah ada obat bagi semua penyakit.
Dua hadits di atas menjelaskan bahwa al-Qur’an termasuk surat al-Fatihah merupakan obat bagi umat Islam. Sedangkan di dalam al-qur’an sendiri banyak dimuat dzikir-dzikir yang seharusnya diamalkan. Dan membaca al-Qur’an juga termasuk berdzikir krpada Allah. Maka sebagaimana yang dijelaskan hadits di atas, dzikir dapat menjadi obat dan penyehat bagi jasmani seseorang.
3. Menjadi pencuci bagi dosa-dosa yang telah dilakukan oleh seseorang
Selain fungsi-fungsi di atas, dzikir juga berfungsi menjadi
pencuci atau pembersih dosa yang pernah dilakukan oleh seorang hamba Allah.
Sebagaimana dijelaskan oleh Allah dalam surat al-Ahzab ayat 35:
والذكرين
الله كثيرا والذكرات اعد الله لهم مغفرة وأجرا عظيما
Artinya: Orang laki-laki dan perempuan yang
banyak berdzikir kepada Allah, Allah akan menyediakan kepada mereka ampunan
dari dosa-dosa mereka dan menyediakan kepada mereka pahala yang agung.
Tanya
:
Apakah Rasul membatasi dalam keadaan
bagaimana dzikir itu boleh dilakukan?
Al-Haq
:
Tidak, Rasulullah tidak pernah
memberikan batasan dalam keadaan bagaimana dzikir harus dilakukan. Karena
Rasulullah tidak membatasi dalam keadaan bagaimana seseorang harus berdzikir
maka dzikir boleh dilakukan dalam keadaan apapun. Boleh dengan berdiri, duduk dan bahkan
boleh sambil berbaring. Dzikir juga boleh dilakukan baik seseorang dalam suci
atau sedang tidak bersuci (sedang berhadats, baik hadats besar maupun kecil).
Secara gamblang Allah menjelaskan hal tersebut dalam surat ِAli Imran ayat 191 dan al-Nisa’ ayat 103 dan surat sebagai
berikut:
الذين
يذكرون الله قياما وقعودا وعلى جنوبهم ويتفكرون فى خلق السموات والأرض ربنا ما
خلقت هذا باطلا سبحانك فقنا عذاب النار.
Artinya: (Ulul al-Bab) adalah
mereka yang berdzikir kepada Allah dalam keadaan berdiri, duduk dan berbaring.
Dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata) Ya
Tuhan kami tidaklah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia, Maha Suci Engkau
maka peliharalah kami dari siksa neraka.
فإذا
قضيتم الصلاة فاذكروا الله قيما وقعودا وعلى جنوبكم فإذا اطمأننتم فأقيموا الصلاة
إن الصلاة كانت على المؤمنين كتابا موقوتا.
Artinya: Maka apabila kmau
sekalian telah menunaikan shalat, berdzikirlah kepada Allah dalam keadaan
berdiri, duduk dan berbaring. Kamudian apabila kamu telah merasa aman maka
dirikanlah shalat itu (sebagaimana biasa). Sesungguhnya shalat itu adalah
kewajiban yang telah ditentukan waktunya atas orang-orang yang beriman.
Jadi berdasar dua ayat di atas dapat diambil i’tibar bahwa
Allah dan Rasulnya tidak membatasi dalam keadaan bagaimana seorang hamba boleh
berdzikir kepada Allah, kecuali seorang hamba tersebut sedang dalam keadaan
membuang hajat (buang air besar maupun kecil) sebagaiman dijelaskan oleh Imam
Khithabiy, ketika dia menjelaskan sebuah hadits Rasul sebagai berikut:
عن
عائشة رضي الله عنها قالت: كان النبي صلى الله عليه وسلم إذا خرج من الخلإ قال:
غفرانك.
Artinya: Dari Aisyah RA. berkata:
Adalah Nabi Saw. ketika keluar dari kamar kecil (membuang hajat) berkata:
“Ampunilah saya”.
Berdasar hadits tersebut Imam Khithabiy menjelaskan, bahwa
ketika keluar dari kamar kecil (setelah membuang hajat), Rasul berkata ghufranak (غفرانك) yang berarti Ya Allah ampunilah saya. Kenapa Rasulullah
mengucapkan hal itu? Karena menurutnya, pada waktu membuang hajat itu
Rasulullah tidak berdzikir kepada Allah. Maka karena tidak berdzikir saat itu,
Rasul merasa perlu untuk memohon ampunan kepada Allah. Dari sinilah kemudian
pada saat membuang hajat -menurut Imam Khithabiy- seseorang tidak boleh
menyebut asma Allah.
Tanya : Apakah
yang dimaksud dengan do’a itu ?.
Al-Haq
:
Jika dilihat dari segi
kebahasaan/etimologi lafal do’a sebagaimana dzikir diambil dari bahasa Arab.
Kata dasar do’a adalah da’a ( دعا ) yang berarti mengundang, memanggil,
menyeru, minta tolong dan memohon. Sedangkan secara istilah syar’i do’a berarti
sebagai berikut:
الإبتهال
إلى الله بالسؤال, والرغبة فيما عنده من الخير والتضرع إليه فى تحقيق المطلوب
وإدراك المأمول.
Maksudnya: do’a adalah permintaan
yang ditujukan kepada Allah lewat suatu permohonan. Do’a juga berarti senang
dan mengharap kebaikan yang ada di sisi Allah. Kemudian do’a juga bermakna
dengan rendah hati dan sepenuh hati mengaharap kepada Allah untuk terwujudnya sesuatu
yang diinginkan dan tercapai apa yang dicita-citakan.
Tanya
:
Ada do’a-do’a yang ma’tsur atau
telah diajarkan oleh Rasulullah. Tapi apakah boleh berdo’a memohon kepada Allah
menurut keinginan kita tapi tidak pernah diucapkan Rasulullah. Atau pendek
kata, apakah ada pembatasan dalam materi do’a yang kita mohon kepada Allah.
Al-Haq
:
Betul bahwa Rasulullah telah
mengajarkan banyak do’a untuk umatnya. Tapi Rasulullah tidak membatasi materi
do’a, atau hal apa yang diinginkan/diminta oleh seorang hamba muslim. Artinya
seorang muslim boleh memohon apapun juga kepada Allah sejauh permohonan/do’a
itu tidak menyangkut hal-hal yang jelek, bathil atau berhubungan dengan dosa/al-itsm
(الإثم
). Dalam surat al-A’raf
ayat: 180 dan surat al-Baqarah ayat: 186, Allah menjelaskan tidak adanya
pembatasan materi do’a tersebut.
Surat al-A’raf ayat: 180 tersebut
sebagai berikut:
ولله
الأسماء الحسنى فادعوه بها
Artinya: Dan Allah memiliki Asma’ al-Husna,
maka berdo’alah/memohonlah kepada-Nya (sesuai dengan apa yang kamu inginkan)
melalui Asma’ al-Husna tersebut.
Surat al-Baqarah ayat: 186 sebagai
berikut:
وإذا
سألك عبادى عنى فإنى قريب أجيب دعوة الداع إذا دعان فليستجيبوا لى وليؤمنوا بى
لعلهم يرشدون.
Artinya: Dan ketika hamba-Ku
bertanya kepadamu (Muhammad) tentang Aku (maka jawablah) bahwa Aku adalah
dekat. Aku akan mengabulkan do’a (permohonan) orang yang berdo’a, ketika dia
sedang berdo’a kepada-Ku. Maka memohonlah kepada-Ku dan berimanlah kepada-Ku,
mudah-mudahan mereka mendapat petunjuk.
Dua ayat di atas tidak membatasi apa-apa yang boleh
dimohonkan kepada Allah. Allah memberi keleluasaan terhadap hamba-Nya untuk
meminta apa saja kepada-Nya kecuali hal-hal yang dilarang atau berkaitan dengan
dosa, sebagaimana dijelaskan oleh Rasulullah Saw. Dalam sebuah hadtisnya
sebagai berikut:
عن
أبى هريرة رضى الله عنه أن رسول الله صلعم. قال: ما من رجل يدعو الله إلا استجاب
له, فإما أن يجعل له فى الدنيا, وإما أن يدخر له فى الآخرة, وإما أن يكفرعنه من
ذنوبه بقدر ما دعا, ما لم يدع بإثم أو قطيعة رحم أو يستعجل.
Artinya: Dari Abu Hurairah RA.
Rasulullah Saw. Telah bersabda: “Tidaklah seorang laki-laki yang berdo’a kepada
Allah, kecuali Allah akan mengabulkannya, selama dia tidak berdoa/memohon dalam
hal kejelekan/dosa atau dia tidak memutus silaturrahmi dan tidak tergesa-gesa
untuk dikabulkan. Do’a tersebut adakalanya dikabulkan di dunia ini, atau do’a
itu dikabulkan kelak pada hari akhir atau -do’a itu dikabulkan dalam bentuk-
Allah menghapus dosa-dosanya sekadar/sebobot dengan permohonannya.
Selain itu, yang dilarang dalam berdo’a adalah tidak dengan
rendah hati, tidak bersungguh-sungguh atau dengan bahasa lain dikabulkan
teserah tidak dikabulkan juga terserah. Sebagaimana penjelasan Rasul sebagai
berikut:
عن
أبى هريرة رضى الله عنه عن النبى ص.م. قال : لا يقولن أحدكم أاللهم اغفر لى إن
شئت, اللهم ارحمنى إن شئت, ليعزم المسألة فإنه لامكره له.
Artinya: dari Abu Hurairah Ra.dari
Nabi Saw. Bersabda “Janganlah sekali-kali kamu seklian berkata (berdo’a): Ya
Allah ampunilah saya jika Engkau -memang- menghendaki untuk mengampuniku, Ya
Allah kasihanilah saya jika Engaku -memang- menghendaki untuk mengasihiku.
Hendaklah seseorang memantapkan permintaan, sesungguhnya tidak ada paksaan bagi
Allah.
Dari uraian di atas jelas bahwa seorang hamba diberi
keluasan dalam memohon kepada Allah, tidak ada pembatasan dalam materi do’a,
kecuali dalam hal-hal yang telah disinggung di atas.
Tanya
:
Kalau begitu bolehkah seseorang
berniat dan memohon kepada Allah
untuk menggetarkan dan mengurut
seluruh tubuhnya dengan dzikir semisal dengan Asma’ al-Husna tersebut?
Al-Haq
:
Ya berdasar penjelasan ayat
al-Qur’an dan hadits di atas, seorang hamba boleh-boleh saja dan sah-sah saja
memohon kepada Allah untuk menggetarkan dan mengurut seluruh tubuhnya dengan
melalui dzikir -semisal Asma’
al-Husna tersebut- karena Allah telah
menjelaskan tentang kebolehannya sebagaimana tertuang dalam ayat yang telah
disebut di atas, yakni:
ولله الأسماء الحسنى فادعوه بها
Artinya: Dan Allah
memiliki Asma’ al-Husna, maka berdo’alah/memohonlah kepada-Nya (sesuai dengan
apa yang kamu inginkan) melalui Asma’ al-Husna tersebut.
Tanya : Apa perbedaan antara dzikir dan do’a
Al-Haq
:
Antara dzikir dan do’a memang ada
perbedaannya. Jika dilihat dari segi bahasa sebagaimana dijelaskan sebelumnya,
dzikir adalah mengingat dan menyebut asma Allah. Sedangkan do’a adalah memohon
kepada Allah. Selanjutnya dzikir belum tentu ada unsur permohonannya, tapi kalau
do’a sudah dapat dipastikan ada unsur permohonan di dalamnya sekaligus ada
unsur mengingat/dzikir kepada Allah.
Tanya
:
Bagaimana hubungan antara dzikir
dengan do’a
Al-Haq
:
Hubungan antara dzikir dengan do’a
jika diibaratkan bagaikan mata uang, yang kedua sisinya berbeda tapi tidak
dapat dipisahkan. Jadi antara dzikir dengan do’a merupakan dua hal yang berbeda
tapi satu dengan lainnya saling melengkapi dan menyempurnakan. Bagaimana
keterkaitan antara dzikir dan do’a itu dapat dilihat dalam penjelasan surat
al-Fatihah. Ummu al-Kitab tersebut terdiri dari dzikir dan do’a sekaligus. Ayat
ke-1 sampai dengan ayat ke-5 adalah dzikir, yang kemudian disambung dengan do’a
pada ayat ke-6 hingga ayat ke-7.
Tanya
:
Bagaimana dzikir dalam amalan al-Haq
Al-Haq
:
Dzikir di dalam amalan al-Haq adalah
sebagaimana penjelasan tentang dzikir sebelumnya. Yakni menggunakan
lafadz-lafadz dzikir yang ma’tsur dari Rasulullah. Pengamalan ini tidak
menggunakan lafadz-lafadz dzikir yang tidak pernah diajarkan oleh Rasulullah
Saw.
Tanya
:
Bagaimana tatacara dzikir dalam
pengalaman al-Haq
Jawab
:
Tata cara dzikir di dalam pengamalan
al-Haq, sebagaimana diajarkan oleh Rasul, yakni seseorang hendaknya dalam
keadaan:
1. Suci,
yakni suci badan, pakain dan tempat dari najis. Lain dari itu juga harus suci
dari hadats kecil maupun besar. Hal itu berdasar firman Allah, yang menjelaskan
bahwa Allah mencintai orang-orang yang suci.
إن الله يحب المتطهرين
Artinya: Sesungguhnya
Allah mencintai orang-orang yang mensucikan diri
2. Duduk bersila menghadap qiblat,
sebagaimana Rasulullah berdo’a memohon kepada Allah juga menghadap qiblat.
Penjelasan tersebut sebagai berikut;
عن
عبد الله بن زيد رضى الله عنه قال: خرج رسول الله صلعم. إلى هذا المصلى يستسقى
فدعا واستسقى واستقبل القبلة
Artinya: Dari Abdullah bin Zaid RA.
Berkata: “Rasulullah masuk ke mushalla ini dan kemudian memohon hujan dan
berdo’a dan meminta hujan dan menghadap qiblat.
3. Khusu’, bertadharru’ atau
bersungguh-sungguh dan berserah diri hanya mengharap ridha Allah. Sebagaimana
dijelaskan oleh Allah dalam surat al-A’raf ayat 55-56 sebagai berikut:
ادعوا ربكم
تضرعا وخفية إنه لا يحب المعتدين ولا تفسدوا فى الأرض بعد إصلاحها وادعوه خوفا
وطمعا إن رحمة الله قريب من المحسنين
Artinya: berdo’alah kepada Tuhanmu
dengan cara berserah diri dan dengan suara halus, sesungguhnya Allah tidak
senang terhadap orang-orang yag melebihi batas, dan janganlah kamu berbuat
kerusakan di atas bumi setelah Allah memperbaikinya, dan berdo’alah kepada-Nya
dengan rasa takut dan mengharap (ridha-Nya) sesungguhnya Rahmat Allah itu dekat
bagi orang-orang yang berbuat kebaikan.
Tanya
:
Bagaimana pengamalan selanjutnya?
Al-Haq
:
Setelah tatacara demikian itu tahap
selanjutnya adalah membaca beberapa urutan dzikir yakni Istighfar tiga
kali, Ta’awudz, surat al-Fatihah hingga Amien, kemudian
disambung dengan niat karena Allah.
Tanya
:
Bagaimana niat di dalam pengamalan
itu?
Al-Haq
:
Sebelumnya perlu disampaikan bahwa
di dalam pengamalan al-Haq ada dua tahap pokok yang harus dilalui, yakni pertama
tahap Penggetaran dan kedua tahap Pengurutan. Tahap Penggetaran
ini merupakan tahap yang harus dilakukan sebelum menginjak tahap-tahap
selanjutnya. Jadi setelah melakukan tatacara sebagaimana di atas, seseorang
berniat untuk menggetarkan seluruh tubuh dengan menggunakan dzikir Syahadatain,
dengan landasan segala sesuatu diniatkan hanya karena Allah. Setelah proses
penggetaran selesai kemudian dilanjutkan dengan proses Pengurutan seluruh
tubuh yang juga lakukan dengan niat mengurut seluruh tubuh dengan dzikir Syahadatain.,
karena Allah. Dimaksud dengan pengurutan adalah menata lahir dan bathin dengan
menggunakan dzikir semata-mata karena Allah.
Tanya
:
Bagaimana kedudukan niat bergetar
dan mengurut dalam tata cara tersebut?
Al-Haq
:
Niat menggetarkan dan mengurut
tersebut dalam tata cara pengamalan al-Haq itu adalah sebagai do’a yang
dimohonkan kepada Allah. Jadi sekali lagi niat menggetarkan dan mengurut
tersebut adalah do’a atau permohonan kepada Allah. Dan sebagaimana penjelasan
sebelumnya materi do’a tidak pernah dibatasi oleh Rasulullah, jadi berniat atau
memohon bergetar atau mengurut seluruh tubuh tersebut boleh-boleh saja.
Selanjutnya kalau betul-betul bergetar, hal itu pertanda do’a tersebut telah
dikabulkan oleh Allah. Jadi bergetarnya tubuh itu adalah hasil dari permohonan
yang ajukan kepada Allah.
Tanya
:
Apakah ada dasar syari’at yang dapat
dijadikan pedoman untuk amalan penggetaran tersebut.
Al-Haq
:
Ya ada. Di dalam al-Qur’an surat
al-Anfal ayat; 2 Allah menjelaskan sebagai berikut:
إنما المؤمنون الذين إذا ذكرالله وجلت
قلوبهم وإذا تليت عليهم آيته زادتهم إيمانا وعلى ربهم يتوكلون.
Artinya: Orang-orang yang beriman
itu hanyalah mereka yang jika disebut (asma) Allah bergetar hatinya dan ketika
dibacakan ayat-ayat Allah maka bertambahlah iman mereka, dan kepada Tuhanleh mereka
berserahdiri.
Jadi menurut ayat di atas yang disebut orang beriman itu
hanyalah mereka yang bergetar hatinya ketika asma Allah disebut. Dalam kaitan
inilah penggetaran dilakukan. Dengan niat penggetaran itu diharapkan kita akan
mendapat getaran sebagai salah satu ciri dasar dari orang yang beriman. Jadi
dengan penggetaran ini diharapkan seseorang akan merasakan iman yang
sesungguhnya di dalam hati.
Tanya
:
Menurut ayat di atas yang bergetar
adalah hatinya, tapi di dalam pengamalan al-Haq yang bergetar adalah tubuhnya,
bagaimana ini?
Al-Haq
:
Betul bahwa menurut ayat tersebut
yang bergetar adalah hatinya, sedangkan di dalam pengamalan al-Haq yang
bergetar adalah tubuhnya. Perlu diketahui bahwa manusia memiliki dua aspek
yaitu aspek
lahir dan aspek batin. Kedua aspek itu saling berhubungan dan pengaruh
mempengaruhi satu dengan yang lain. Kondisi jiwa/hati seseorang akan banyak
berpengaruh pada kondisi lahiriahnya. Demikian juga dengan bergetarnya hati
akan berpengaruh pada bergetarnya jasmani/tubuh. Sebagai perumpamaan, jika
seseorang merasa takut untuk
berpidato di atas mimbar, rasa takutnya itu kemudian membuat seluruh tubuhnya
berkeringat dan gemetaran. Karena itu, niat penggetaran dalam amalan al-Haq
dengan menggunakan kata-kata seluruh tubuhku, maksudnya sejak
ujung rambut hingga ujung kaki, dan sejak yang lahiriah hingga yang batiniah.
Tanya
:
Apakah amalan penggetaran dan
pengurutan sebagaimana disebutkan seblumnya tidak termasuk bid’ah?
Al-Haq
:
Sebelum menjawab persoalan itu,
perlu dijelaskan dterlebih dahulu tentang persoalan bid’ah. Bid’ah (بدعة)berasal
dari bahasa Arab, dengan akar kata bada’a (بدع) yang berarti membuat sesuatu yang
baru, yang sebelumnya belum pernah ada. Secara istilah syar’i bid’ah berarti
mengada-ada dalam suatu persoalan syari’at yang tidak diajarkan oleh
Rasulullah. Jadi bid’ah itu hanya dalam urusan ubudiyah. Selain masalah
ubudiyah, meskipun belum pernah ada dan belum diajarkan oleh Rasulullah tidak
dikatakan bid’ah. Sebagaimana dijelaskan oleh Rasulullah sebagai
berikut:
إياكم ومحادثات الأمور فإن كل محدثة
بدعة وكل بدعة ضلالة وكل ضلالة فى النار
Artinya: Jauhilah
kamu sekalian hal-hal yang baru (dalm urusan syari’at) karena sesungguhnya
setiap yang baru adalah bid’ah, dan setiap bid’ah itu sesat dan setiap yang sesat masuk neraka.
Jadi sekali lagi kalau hal-hal yang baru itu di luar masalah
syariat, tidak dapat dikatakan sebagi bid’ah. Sebagai misal, orang
sekarang bila naik haji tidak menggunakan unta seperti Rasulullah dahulu, tapi
menggunakan pesawat terbang. Hal baru yang demikian itu tidak dapat dikatakan bid’ah.
Jadi sekali lagi yang dikatakan bid’ah itu jika mengada-ada dalam hal ibadah mahdhah.
Yang dimaksud ibadah mahdhah adalah ibadah yang telah ditentukan
aturan-aturannya oleh Rasul secara spesifik/khusus, sebagai misal shalat dhuhur
empat rakaat. Shalat maghrib tiga rakaat dan sebagainya. Ketentuan jumlah
rakaat yang demikian itu tidak boleh ditambah maupun dikurangi. Demikian juga
ketentuan dalam hal puasa Ramadhan, sejak dari terbit fajar hingga terbenamnya
matahari, tidak boleh ditambah hingga isya’ atau dikurangi sebelum maghrib. Jadi
sekali lagi dalam hal ibadah mahdhah
yang telah ada aturan-aturan
khususnya tidak boleh ditambah dan tidak boleh dikurangi. Dalam hal dzikir,
Rasulullah tidak pernah membuat aturan yang secara khusus dan detail, seorang
hamba boleh berdzikir dalam keadaan apapun dan untuk tujuan apapun yang
diridhai oleh Allah. Jadi dzikir dengan bergetar, tidak dilarang oleh
Rasulullah. Dzikir dengan mengurut seluruh tubuh juga tidak dilarang oleh
Rasulullah, dan bukan merupakan bid’ah, karena memang Rasulullah tidak
pernah membuat aturan secara khusus dalam berdzikir, tapi justru diberi
keleluasaan. Jika ada yang mengatakan dzikir dalam keadaan bergetar atau
mengurut seluruh tubuh merupakan bid’ah, seharusnya dia beristighfar dan
mohon ampunan pada Allah, karena dia telah berani melarang sesuatu yang
Rasulullah tidak pernah melarang. Dia berani mengharamkan sesuatu yang
dihalalkan oleh Rasulullah. Dan anggapan yang demikian itulah yang justru
dinamakan bid’ah. Karena mengharamkan sesuatu yang Rasulullah tidak
pernah menharamkannya.
Tanya
:
Bagaimana kebolehan berdzikir dengan
cara bergetar dan mengurut dilihat dari aspek perumusan hukumnya.
Al-Haq
:
Dalam perumusan hukum tentang
bolehnya dzikir dengan bergetar, dapat digunakan metode perumusan hukum Qiyas.
Qiyas adalah proses merumuskan hukum suatu hal yang belum dijelaskan secara
khusus oleh Rasulullah, tapi secara umum penjelasan hukum itu dapat dijumpai
dalam al-Qur’an maupun hadits. Sebagai hukum ashalnya adalah kebolehan
berdzikir sambil duduk, berdiri atau berbaring sebagaimana dijelaskan dalam
surat Ali Imran ayat 191 dan al-Nisa dan ayat 103 sebagai berikut:
الذين
يذكرون الله قياما وقعودا وعلى جنوبهم ويتفكرون فى خلق السموات والأرض ربنا ما
خلقت هذا باطلا سبحانك فقنا عذاب النار.
Artinya: (Ulul al-Bab) adalah mereka
yang berdzikir kepada Allah dalam keadaan berdiri, duduk dan berbaring. Dan
mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata) Ya Tuhan
kami tidaklah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia, Maha Suci Engkau maka
peliharalah kami dari siksa neraka.
فإذا قضيتم
الصلاة فاذكروا الله قيما وقعودا وعلى جنوبكم فإذا اطمأننتم فأقيموا الصلاة إن
الصلاة كانت على المؤمنين كتابا موقوتا.
Artinya: Maka apabila kmau sekalian
telah menunaikan shalat, berdzikirlah kepada Allah dalam keadaan berdiri, duduk
dan berbaring. Kamudian apabila kamu telah merasa aman maka dirikanlah shalat
itu (sebagaimana biasa). Sesungguhnya shalat itu adalah kewajiban yang telah
ditentukan waktunya atas orang-orang yang beriman.
Dalam kedua ayat di atas dijelaskan oleh Allah bahwa dzikir
itu dapat dilakukan sambil berdiri, duduk atau sambil tiduran. Bergetar dalam
hal ini dapat disepadankan atau diqiyaskan dengan berdiri, duduk atau
berbaring. Bergetar berkedudukan sebagai kata kerja yang menunjukkan suatu
aktivitas atau perbuatan. Berdiri, duduk dan berbaring juga kata kerja yang
juga menunjukkan suatu aktivitas. Kedua keadaan itu memiliki kesetaraan yang
memungkinkan untuk diberlakukan metode qiyas. Yakni mengqiyaskan hukum
bergetar dengan hukum berdiri, duduk atau berbaring sebagaimana dijelaskan
dalam al-Qur’an..
Selanjutnya, qiyas yang lain juga dapat diterapkan
untuk menunjukkan kebolehan dzikir dengan bergetar. Qiyas tersebut adalah qiyas
aulawiy. Yakni dzikir boleh dilakukan sambil apapun juga, boleh di pasar
sambil berjualan, boleh sambil makan, bahkan boleh sambil bersenggama
sekalipun. Dzikir juga boleh dilakukan tidak dalam keadaan suci, juga boleh
tanpa disertai dengan niat. Jika dzikir dengan keadaan seperti tersebut di atas
saja boleh, apalagi jika dzikir itu dilakukan dalam keadaan suci, diniatkan
untuk bergetarnya hati dalam rangka mencapai ridho Allah, sebagaimana dilakukan
dalam amalan Al-Haq, hal itu pasti lebih diperbolehkan. Inilah yang disebut
dengan qiyas aulawiy.
Tanya
:
Apakah ada bentuk-bentuk ibadah lain
yang Rasulullah tidak pernah memberikan ketentuan khusus?
Al-Haq
:
Ya ada. Sebagai contohnya dapat
dikemukakan antara lain sebagai berikut:
1. Khutbah Jum’at,
Menyangkut masalah khutbah Jum’at, Rasulullah berkhutbah
dengan menggunakan bahasa Arab dan tidak pernah menggunakan bahasa lain, sejak
dari rukun khutbah hingga penjelasannya, sedangkan masyarakat muslim di
dunia ini, berkhutbah tidak menggunakan bahasa Arab namun menggunakan bahasanya
masing-masing. Hal itu tidak dianggap bid’ah sekalipun mengada-ada dalam
persoalan ibadah yang tidak pernah dilakukan oleh Rasulullah. Karena memang
Rasulullah tidak pernah membatasi penggunaan bahasa, tapi justru Rasul
memberikan keleluasaan terhadap persoalan tersebut.
2. Shalat Tarawih,
Shalat Tarawih seperti juga dalam persoalan Khutbah Jum’at.
Pada zaman Rasul nama Shalat Tarawih itu belum ada. Dahulu di kalangan shahabat
menyebut Shalat Tarawih sebagai Qiyam al-Lail atau shalat malam. Tapi
sekarang umat Islam menyebutnya sebagai Shalat Tarawih. Ini juga mengada-ada
dalam hal nama yang tidak pernah disebutkan oleh Rasul, tapi tidak
dikategorikan sebagai bid’ah. Karena Rasul tidak pernah menetukan nama Shalat
di malam bulan Ramadhan tersebut. Selain itu, jika kita melihat dalam
penjelasan Hadits, Rasulullah melaksanakan Qiyam al-Lail tersebut
bersama-sama shahabat di dalam masjid hanya beberapa kali di dalam bulan
Ramadhan, tapi kenapa umat Islam, sekarang melaksanakan Shalat Tarawih tersebut
setiap malam bulan Ramadhan, dan juga tidak disebut bid’ah?. Ya karena
memang Rasulullah memberikan keleluasaan pelaksanaan Shalat tersebut. Seperti
halnya dzikir yang telah dijelaskan sebelumnya.
3. Zakat Fitrah
Rasulullah pada masa itu menunaikan zakat fitrah dengan
kurma, tapi mengapa umat Islam di penjuru dunia menunaikan zakat fitrah tidak dengan kurma, tapi ada yang
menggunakan gandum, beras dan sebagainya, tapi juga tidak pernah dianggap bid’ah?.
Padahal hal itu juga mengada-ada dan belum pernah dilakukan oleh
Rasulullah?. Karena memang dalam hal
ini Rasulullah tidak menentukan
secara khusus tentang pelaksanaannya, seperti halnya dzikir yang telah
dijelaskan sebelumnya.
Demikian penjelasan tentang bid’ah kaitannya dengan
amalan ibadah. Dengan penjelasan yang demikian itu, kiranya menjadi masukan
kepada siapa saja agar tidak dengan mudah mengklaim, atau memberikan cap kepada
amalan-amalan tertentu dengan nama bid’ah.
Tanya
:
Dalam penjelasan ulama tentang
bid’ah ada yang membagi menjadi dua yakni bid’ah hasanah atau mahmudah dan
bid’ah dhalalah atau madzmumah. Bagaimana itu?
Al-Haq
:
Betul bahwa para ulama mengatakan
bid’ah itu ada yang mahmudah atau hasanah dan ada yang dhalalah
atau madzmumah. Yang berpendapat demikian antara lain adalah Imam
Syafi’i. Untuk masalah ini siapapun boleh berpendapat. Ulama yang mengatakan bid’ah
itu ada yang baik dan ada yang sesat, sebetulnya dia mendasarkan pendapatnya
pada arti bid’ah secara kebahasaan, yakni seperti yang telah dijelaskan
sebelumnya. Bid’ah itu secara kebahasaan adalah segala sesuatu yang baru yang
belum ada contohnya semasa Rasul. Jadi apapun juga yang namanya baru yang belum
ada contohnya pada waktu Rasul, semuanya bid’ah. Dan sesuai dengan
penjelasan Rasul sendiri, segala sesuatu yang bid’ah itu pasti sesat,
dan yang sesat pasti masuk neraka. Tapi kenyataannya apakah sesuatu yang baru
pada saat ini semuanya sesat, jawabnya tentu saja tidak. Dari situlah maka
hadits Rasul yang menjelaskan tentang bid’ah itu hanya terbatas pada
masalah syari’at/ibadah mahdhah yang telah ada aturannya secara khusus.
Kalau konsisten dengan hadits Rasul, maka
semua bid’ah itu sesat
sifatnya. Maka yang tidak sesat, atau
sesuai dengan syari’at tidak dapat
dikatakan sebagai bid’ah, sekalipun bid’ah hasanah. Karena
menurut hadits Rasul, tidak ada bid’ah hasanah, tapi semua bid’ah
adalah dhalalah.
Tanya
:
Apakah betul bahwa Rasul dalam
masalah dzikir tidak menentukan kaifiyah secara khusus? Dan bagaimana dalilnya?
Al-Haq
:
Betul bahwa Rasulullah tidak
menentukan kaifiyah dzikir secara spesifik/khusus. Kalau menyangkut
bacaan dzikir, Rasulullah memang telah memberikan tuntunan, dan macamnya sangat
banyak sekali. Sekali lagi kalau menyangkut kaifiyah dzikir Rasulullah
tidak memberikan batasan. Umat Islam boleh dzikir dalam keadaan bagaimanapun
juga, sebagaimana Rasulullah berdzikir dalam semua keadaan dan situasi. Hal itu
berbeda dengan aturan shalat yang memang telah ditentukan oleh Rasulullah
tatacara atau kaifiyahnya. Seperti penjelasan sebuah hadits Rasul
sebagai berikut:
قالت عائشة
رضي الله عنها: كان النبى صلعم. يذكر الله على كل أحيانه. أى كل أوقاته التى يباح
فيها ذكر الله.
Artinya: ‘Aisyah RA. berkata:
Rasulullah berdzikir kepada Allah dalam setiap keadaan/kondisinya. Artinya
setiap waktu yang diperbolehkan untuk berdzikir.
Jadi hadits tersebut secara gambling menjelaskan bahwa
Rasulullah tidak pernah membuat kaifiyah khusus dalam berdzikir,
Rasulullah berdzikir dalam semua keadaan, dalam semua kondisinya. Hal itu
berbeda dengan ketentuan dalam ibadah mahdhah lainnya semisal shalat.
Kalau dalam shalat Rasul secara jelas mengajarkan kaifiyahnya secara
detail dan khusus. Seperti dijelaskan dalam sebuah hadistnya sebagai berikut:
صلوا
كما رأيتمونى أصلى
Artinya: Shalatlah
kamu sekalian sebagaimana kamu melihat saya melakukan (kaifiyah) shalat
Sedangkan untuk berdzikir, Rasulullah tidak pernah menyuruh
sebagaimana Rasul menyuruh dalam melaksanakan shalat. Rasul tidak pernah
mengatakan “berdzikirlah kamu sekalian sebagaimana kamu melihat saya
melakukan (kaifiyah) dzikir”. Jadi jelaslah bahwa memang Rasulullah tidak
pernah membatasi harus dalam keadaan bagaimana umatnya berdzikir. Dengan
demikian sah-sah saja umatnya berdzikir kepada Allah dalam keadaan bergetar
atau mengurut seluruh tubuhnya. Jika ada orang yang membatasi keadaan dzikir,
atau mengharamkan suatu amal dzikir hanya karena dilakukan dengan cara bergetar
atau mengurut, berarti dia telah berani melampaui wewenang Rasulullah. Yakni
mengharamkan apa yang sebetulnya diperbolehkan oleh Rasulullah, dan orang yang
demikian itu harus banyak beristighfar kepada Allah, mohon ampunan kepada-Nya.
Tanya
:
Apakah ada pengamalan lain selain
penggetaran dan pengurutan dalam amalan al-Haq?
Al-Haq
:
Ya ada, yaitu antara lain
mengeluarkan Jin, Syaithan, Iblis, Ifrit, Sihir, Kekuatan Pranasakti, Kekuatan
Ghaib yang datang tidak dari Allah. Yakni dengan dzikir itu diniatkan untuk
mengeluarkan hal-hal tersebut dari tubuh kita. Jadi hal itu sebagaimana
dijelaskan oleh Rasulullah bahwa dzikir dapat mengusir jin, syaithan dan
sejenisnya dari dalam hati dan tubuh manusia. Sebagaimana Rasulullah
menjelaskan sebagai berikut:
إن الشيطان جاثم فى قلب الناس إذا ذكر
الله خنس وإذا غفل وسوس
Artinya: Sesungguhnya Syaithan itu
menetap dalam hati manusia, jika hati itu berdzikir kepada allah maka (Syaithan
tersebut) akan tersungkur dan jika hati itu lupa berdzikir kepada Allah maka
(Syaithan tersebut) akan menggodanya
.
Selain hadits tersebut, ada sebuah riwayat dari ‘Aisyah
tentang bagaimana syaithan telah dikeluarkan oleh Allah dari diri Rasulullah,
yang kemudian kita ikuti meskipun hanya berapa persennya saja. Riwayat tersebut
sebagai berikut:
وتحدث
السيدة عائشة فقالت خرج النبى صلعم. من عندى ليلا فغرت عليه فجاء فرأى ما أصنع (من أثر الغيرة) فقال: ما لك يا عائشة؟ أغرت؟ قلت وما لى لا
يغار مثلى على مثلك فقال: أقد جاءك شيطانك, قلت يا رسول الله أمعى شيطان؟ قال:
نعم. قلت ومع كل إنسان؟ قال: نعم, قلت: ومعك يا رسول الله؟ قال: نعم ولكن اعاننى
الله عليه حتى أسلم (حتى أنجو من شره)
Artinya: Dan Sayidah ‘Aisyah
menderitakan, maka kemudian dia berkata: Pada suatu malam Rasulullah keluar
dari rumah saya, maka kemudian saya cemburu terhadapnya. Maka kemudian Rasul
datang dan melihat apa yang saya perbuat (akibat cemburaun). Kemudian
Rasulullah bersabda: Apa yang kau perbuat Ya ‘Aisyah?, Apakah kamu cemburu?
Saya berkata: Bagaaimana orang seperti saya tidak cemburu kepada orang
sepertimu. Maka kemudian Rasul bersabda: Apakah syaithanmu telah datang
kepadamu?, kemudian saya berkata: Ya Rasulullah apakah syaithan itu menyertai
saya?. Rasul bersabda: Ya. Saya berkata: Dan juga menyertai semua manusia?
Rasul bersabda: Ya. Saya berkata: Dan juga menyertaimu juga ya Rasulullah? Ya, tapi
allah telah menolongu (membebaskanku) atas syaithan tersebut, sehingga saya
selamat dari perbuatan jeleknya.
Tanya : Apakah
masih ada amalan lain selain itu?
Al-Haq
:
Ya ada. Yakni melindungi diri
-dengan dzikir dan karena Allah- dari gangguan Jin, Syaithan, Iblis, Ifrit,
Sihir, Kekuatan Pranasakti, Perbuatan orang-orang sombong, orang-orang kafir
dan sebagainya.
Tanya
:
Jika perlindungan yang demikian itu
dilakukan pada waktu berjihad apakah tidak bertentangan dengan sunnah Rasul.
Al-Haq
:
Tidak bertentangan dengan sunnah
Rasul. Perlindungan diri kepada Allah melalui dzikir merupakan sunnah Rasul
yang perlu kita ikuti. Sebagai dasarnya umat Islam senantiasa untuk berlindung
dari godaan syaitan yang terkutuk. Seperti dalam bacaan Ta’awudh.
أعوذ بالله من الشيطان الرجيم
Artinya: Aku berlindung kepada Allah dari godaan Syaithan
yang terkutuk
Selain itu juga sebagaimana dijelaskan dalam surat al-Nas
dan surat al-Falaq. Yaitu orang Islam disuruh untuk berlindung kepada Allah
dari godaan Syaithan, dari perbuatan ahli sihir, dan juga perbuatan orang-orang
hasud dan perbuatan-perbuatan jelek lainnya.
Selanjutnya kaitannya dengan jihad, mohon perlindungan itu
juga disunnahkan oleh Rasulullah seperti dijelaskan dalam berbagai haditsnya
sebagai berikut:
عن
أبى موسى الأشعرى رضى الله عنه أن النبى صلعم. إذا خاف قوما قال: اللهم إنا نجعلك
فى نحورهم ونعوذ بك من شرورهم
Artinya: Dari Abu Musa al-Asy’ariy
RA. sesungguhnya Nabi Saw. ketika khawatir -terhadap bahaya yang timbul- dari
suatu kaum berdo’a: Ya Allah kami memasrahkan kepada-Mu di dalam kurban
mereka/kekalahan mereka, dan kami berlindung kepada-Mu dari kejahatan/kejelekan
yang mereka perbuat.
Selain hadits yang diriwayatkan oleh Abu Dawud dan Nasa’i,
tersebut banyak penjelasan lainnya antara lain;
عن
جابر رضى الله عنه قال: قال رسول الله صلعم. يوم حنين: لا تتمنوا لقاء العدو فإنكم
لا تدرون ما تبتلون به منهم, فإذا لقيتموهم فقولوا: اللهم أنت ربنا وربهم, وقلوبهم
بيدك وإنما تغلبهم أنت.
Artinya: Dari Jabir RA. berkata:
berdabda Rasulullah Saw. pda waktu perang Hunain; Janganlah kamu sekalian
mengharap bertemu dengan musuh, karena sesungguhnhay kamu tidak tahu apa yang
akan terjadi ketiak bertemu dengan mereka, maka ketika bertemu dengan mereka
(musuh) berdo’alah kamu sekalian; Ya Allah Engkau adalah Tuhan kami dan Tuhan
mereka, dan hati mereka berada pada kekuasaan-Mu dan hanya Engkau lah yang
dapat mengalahkan mereka.
عن
عبد الله بن أبى أوفى أن رسول الله صلعم. فى بعض أيام التى لقى فيها العدو انتظر
حتى مالت الشمس, ثم قام فى الناس فقال: (أيها الناس لاتتمنوا لقاء العدو, وسلوا
الله العافية, فإذا لقيتموهم فاصبروا, واعلموا أن الجنة تحت ظلال السيوف, ثم قال:
اللهم منزل الكتاب, ومجرى السحاب, وهازم الأحزاب اهزمهم وانصرنا عليهم
Artinya: Dari Abdullah bin Abu Auf
sesungguhnya Rasulullah Saw. di dalam sebagian hari-hari peperangan dengan
musuh beliau menunggu hingga terbenanmnya matahari, kemudian beliau berdiri di
antara manusia (shahabat) dan kemudan bersabda: “ Wahai para manusia janganlah
kamu mengharap bertemu dengan musuh, dan mohonlah kesehatan kepada Allah, dan
jika kamu bertemu dengan mereka (musuh) bersabarlah, dan ketahuilah bahwa surga
itu lebih dekat bagi orang-orang yang mau berperang/berjuang di jalan Allah.
Kemudian Rasulullah berdo’a: “Ya Allah dzat yang menurunkan al-Kitab dan yang
menjalankan awan, dan yang mengalahkan perang, kalahkanlah mereka dan tolonglah
kami untuk menang atas mereka.
Tanya : Apakah
manusia dapat bertemu dengan malaikat?
Al-Haq
:
Sebelum menjawab pertanyaan itu,
perlu dismpaikan bahwa malaikat adalah sesuatu yang ghaib bagi manusia. Alam
manusia berbeda dengan alam malaikat. Asal kejadiannya juga berbeda jika
manusia dicipta dari tanah malaikat dicipta dari nur/cahaya. Kemudian dilihat
dari kesempurnaannya, pada dasarnya manusia lebih sempurna dibanding malaikat.
Karena manusia memiliki berbagai unsure yang tidak dimiliki oleh malaikat.
Manusia punya unsure jasad yang tidak dimiliki oleh malaikat, manusia memliki
nafsu yang tidak dimiliki oleh malaikat. Jika manusia dapat mengoptimalkan apa
yang dimiliki itu, manusia dapat lebih sempurna dari malaikat. Bahkan jika
manusia sudah mencapai derajat keimanan yang sempurna, Allah akan jadi
pendengarannya, Allah akan jadi penglihatannya dan Allah juga akan jadi
tangannya. Kalau sudah demikian halnya, maka segala sesuatu menjadi mungkin
adanya. Karena Allah yang menghendaki. Jadi bisa-bisa saja manusia bertemu
dengan malaikat, berdialog dengan mereka dan sebagainya. Allah menjelaskan
sebagai berikut:
إن الله على كل شئ قدير
Artinya: Sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu.
Tanya
:
Apakah Khidhir itu ada dan masih
hidup?
Al-Haq
:
Ya betul bahwa di antara sekian
banyak hamba Allah di dunia ini ada yang bernama Hidhir. Al-Qur’an pernah
menceritakan kisah Hidzir tersebut dalam surat al-Kahfi. Al-qur’an menjelaskan
bahwa dia adalah seorang hamba Allah yang diberi rahmat dari sis-Nya juga telah
diajari berbagai ilmu oleh dan dari Allah. Menurut sebuah riwayat nama Hidhir,
sebetulnya adalah laqab atau julukan, bukan nama sebenarnya. Nama
yang sebenarnya adalah Balya bin Malkan, atau Iliyya bin Malkan.
Nama Hidzir tersebut dikarenakan, suatu ketika dia duduk di suatu gurun yang
kering dan tandus, kemudian setelah diduduki oleh Hidhir/Balya bin
Malkan gurun gersang dan kering tersebuet menjadi hijau (khadhra’/khidhir)dan
subur. Hal itu sebagaimana dijelaskan oleh Hadits Rasul yang dikutip oleh Imam
Nawawiy sebagai berikut;
أن النبى صلعم. قال : إنما سمى الخضر
لأنه جلس على فروة فإذا هى تهتز من خلفه خضرأ
Artinya: Dia (Balya bin Malkan)
dinamakan Khidir, karena dia duduk di suatu padang yang tandus dan seketika itu
juga padang tandus itu menjadi hijau dan subur.
Selanjutnya menurut penjelasan Imam Nawawiy, Khidhir
adalah seorang alim, shaleh, yang memiliki ilmu yang sangat dalam. Dan dia
bukan seorang nabi juga bukan seorang Rasul. Imam Nawawiy juga mengatakan bahwa
hamba allah yang bernama Khidihir tersebut hingga saat ini masih hidup.
Pendirian semacam itu tidak salah karena memang tidak ada
penjelasan dari Allah atau Rasulnya yang mengatakan bahwa Khidhir
telah meninggal dunia. Masalah di seputar Khidhir hanya diketahui
lewat informasi dari Allah. Sebagai misal kita tahu tentang adanya Khidhir
karena informasi dari Allah (dalam al-Qur’an). Dengan demikian informasi
ketidakberadaannya (Khidhir) juga hanya berdasar dari Allah.
Sementara Allah lewat al-Qur’an tidak pernah menyatakan tentang kematiannya,
dengan demikian jika seseorang menganggap bahwa Khidhir masih hidup
hingga sekarang adalah betul karena al-Qur’an tidak pernah mengatakan bahwa dia
telah meninggal.
Jika ada orang yang mengatakan bahwa Khidhir
adalah manusia biasa yang juga memiliki umur sebagaimana manusia biasa, dengan
demikian menurut kebiasaan dan logika dia telah meninggal dunia, maka
sebetulnya orang tersebut telah mendahulukan akal fikirannya dan menomorduakan
informasi al-Qur’an berkaitan dengan sesuatu yang seharusnya disandarkan pada
al-Qur’an sebagai sumber kebenaran menyangkut masalah-masalah ghaib.
Kata Sambutan Guru Besar Al-Haq
السلام
عليكم ورحمة الله وبركاته
ألحمد لله الذى هدنا سبيل الحق, أشهد ان لا إله إلا الله وأشهد
أن محمدا عبده ورسوله اللهم صل وسلم وبارك على محمد وعلى اله واصحبه
أجمعين.
Sekali lagi marilah kita panjatkan
puji syukur kepada Allah Subhanahu Wata’ala yang telah menunjukkan kita
pada jalan kebenaran, shalawat dan salam senantiasa terhunjuk kepada baginda
Rasul Muhammad Saw. yang telah berani mengorbankan segalanya untuk
menyelamatkan umat manusia dari jalan kehancuran.
Hanya dengan rahmat Allah buku kecil
yang bersisi tentang Tanya jawab seputar masalah amalan al-Haq dapat
diselesaikan oleh salah seorang anggota al-Haq yang berada di Salatiga Jawa
Tengah. Semoga buku kecil dan sederhana ini menjadi amal jariyah bagi
penyusunnya dan memberikan manfaat bagi sidang pembaca semua, khususnya anggota
al-Haq dan masyarakat Islam pada umumnya.
Buku ini disusun dalam upaya
menjelaskan secara tertulis kepada anggota al-Haq pada khususnya dan masyarakat
Islam pada umumnya tentang amalan al-Haq. Upaya penjelasan secara tertulis ini
saya ras penting agar masyarakat luas tidak kesulitan lagi jika ingin
mengetahui bagaimana sebetulnya amalan al-Haq tersebut. Selain itu penjelasan
secara tertulis juga dapat menghindarkan lebih jauh persangkaan-persangkaan
yang minor atau negatif tehadap amalan ini, yang mana persangkaan-persangkaan
minor itu bisa mengakibatkan friksi bahkan perpecahan di antara umat Islam
sendiri.
Harapan saya kepada sidang pembaca,
baik anggota al-Haq maupun masyarakat Islam pada umumnya dengan membaca buku
kecil ini kita dapat saling memahami, menghormati satu dengan yang lain dan
tidak terjadi saling salah pemahaman yang akan berujung pada perpecahan. Dan
dengan buku yang sederhana ini semoga jika ada perbedaan persepsi di antara
kita tentang amalan, kita tidak terjebak pada perdebatan yang berkepanjangan,
tapi sebaliknya justru saling bertoleransi atau dalam bahasa agama saling bertasamuh.
Amien.
Selanjutnya khusus kepada semua
anggota al-Haq, saya harapkan semoga senantiasa melanggengkan dzikir kepada
Allah semata-mata untuk mencari Ridha-Nya dan senantiasa meningkatkan
kesabaran, ketabahan dan ketaqwaan kepada Allah Subhanahu Wata’ala.
Dan akhirnya,
بالله فى سبيل الحق
والسلام عليكم ورحمة الله وبركاته
Luwuk, Januari 2003
Guru Besar al-Haq
SAIDI LARAU
PENGANTAR PENULIS
السلام
عليكم ورحمة الله وبركاته
ألحمد لله الذى هدنا سبيل الحق, أشهد ان لا إله إلا الله وأشهد
أن محمدا عبده ورسوله اللهم صل وسلم وبارك على محمد وعلى اله واصحبه
أجمعين.
Puji syukur kita panjatkan kepada
Allah yang telah memberikan rahmat kepada kita semua, shalawat dan salam semoga
selalu kita haturkan kepada beliau Nabiyullah Muhammad Saw. yang secara
totalitas memberikan hidupnya untuk keselamatan dan kebahagiaan umat manusia.
Sekali lagi penulis memanjatkan puji
syukur kepada Allah Swt., karena dengan limpahan rahmatnya penulis dapat
menyelesaikan buku kecil lagi sederhana ini. Buku yang berisi tentang Tanya
Jawab di seputar persoalan amalan al-Haq. Buku ini tersusun selain
terdorong keinginan untuk menjelaskan kepada umat Islam secara luas tentang
amalan ini, juga karena atas saran dan anjuran serta restu dari Guru Besar
al-Haq, al-Mukarram Saidi Larau.
Harapan penulis, semoga dengan buku
yang sederhana ini dapat memberikan penjelasan tambahan secara tertulis tentang
amalan al-Haq, tidak hanya kepada anggota al-Haq lebih dari itu kepada umat
Islam semua. Harapan selanjutnya setelah memahami amalan ini, kepada yang belum
mengamalkan dapat mengamalkannya.
Harapan lain, bagi pihak-pihak yang
berbeda persepsi dengan amaln ini, dengan adanya buku ini dapat memahami
perbedaan persepsi tersebut, yang akan berujung pada sikap saling pengertian
dan tidak mengklaim benar sendiri di satu sisi dan di sisi yang lain
menyalahkan atau mendiskriditkan pihak lain.
Selanjutnya tidak ada harapan yang
lebih mulia dari semua harapan yang ada -dengan ditulisnya buku ini- yaitu
semata-mata untuk mengharap Ridha Allah Swt. Dan semoga usaha tabayyun dan
i’tibar yang ada di dalam buku ini menjadi amal jariyah bagi penulis.
Amien.
Dan akhirnya,
بالله فى سبيل الحق
والسلام عليكم ورحمة الله وبركاته
Salatiga,07Januari 2003
Penulis
Anggota al-haq salatiga
Jawa tengah